Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Siapa Pemilik Masa Depan Pangan?

24 September 2025   12:25 Diperbarui: 24 September 2025   12:25 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa petani mulai longmarch dari Simpang Bank Indonesia menuju kantor DPRD Jambi, Rabu (24/9/2025). (Suwandi/KOMPAS.com)

Begitu tanah hilang, rantai produksi itu ikut patah. Dan ketika rantai patah, harga-harga melambung, pasokan menipis, bahkan ketergantungan impor meningkat.

Inilah yang membuat hubungan tanah-petani-pangan tak bisa dipisahkan. Tanah adalah modal, petani adalah pelaku, dan pangan adalah hasilnya. Jika satu komponen runtuh, semuanya runtuh.

Perampasan Tanah = Ancaman Pangan

Perampasan tanah tidak sekadar kisah di pinggir berita. Ia adalah kenyataan sehari-hari yang menghantui desa-desa. Di banyak daerah, petani terpaksa menyerahkan lahannya karena kalah dalam kekuatan hukum, kalah dalam modal, atau kalah dalam tekanan aparat. Tanah yang tadinya penuh padi, mendadak berubah jadi perkebunan sawit, tambang, atau proyek infrastruktur.

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam 100 hari pertama pemerintahan baru, sudah terjadi 63 konflik agraria yang melibatkan lebih dari 66 ribu hektar lahan (sumber: di sini). 

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerita ribuan keluarga yang tanahnya terancam. Di balik setiap hektar, ada peluh, ada kisah, ada harapan yang dirampas.

Akibatnya jelas: pangan terguncang. Petani kecil yang dulu menanam untuk kebutuhan lokal digantikan oleh perusahaan yang menanam komoditas ekspor. Diversifikasi tanaman lokal hilang. 

Jagung lokal, umbi-umbian, sayuran tradisional, perlahan tergantikan monokultur yang orientasinya bukan untuk memberi makan rakyat, tapi untuk memberi keuntungan pasar global.

Di meja makan kita, gejalanya sudah terasa. Harga beras naik, harga cabai melonjak, harga bawang merah sulit stabil. Semua itu bukan hanya karena musim atau cuaca, melainkan karena sistem pangan kita makin terkonsentrasi. Semakin sedikit petani kecil yang bisa bertahan, semakin rapuh ketahanan pangan kita.

Yang lebih menakutkan adalah ketergantungan impor. Ketika tanah tak lagi cukup menghasilkan, negara mencari jalan pintas: impor. Padahal, impor berarti kita menggantungkan perut bangsa pada pasar global yang rentan gejolak.

Perampasan tanah, pada akhirnya, adalah ancaman nyata terhadap dapur setiap keluarga Indonesia. Ia bukan hanya masalah petani, tapi masalah kita semua.

Siapa yang Sebenarnya Menguasai Pangan?

Pertanyaan inilah yang sering dihindari: siapa sebenarnya yang menguasai pangan kita? Apakah petani kecil yang bekerja dari pagi hingga senja di sawah, ataukah korporasi yang punya jaringan modal hingga distribusi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun