Minggu lalu, dunia politik dikejutkan oleh pengumuman Perdana Menteri Albania, Edi Rama. Ia memperkenalkan seorang menteri baru yang bukan manusia, melainkan hasil kecerdasan buatan bernama Diella.Â
Rama menyebut Diella sebagai simbol era baru pemerintahan, seorang pejabat virtual yang tidak tidur, tidak bisa disuap, dan tidak memiliki kepentingan pribadi.
Langkah ini segera menjadi sorotan media internasional. Wajar saja, sebab inilah pertama kalinya sebuah negara secara resmi menunjuk "menteri" dari kalangan non-manusia.Â
Rama bahkan berjanji bahwa kehadiran Diella akan menandai berakhirnya praktik suap, nepotisme, dan intervensi keluarga dalam proyek-proyek pengadaan publik. Dengan kata lain, sebuah pemerintahan yang benar-benar steril dari korupsi.
Janji itu terdengar manis, namun justru menimbulkan pertanyaan besar. Apakah benar sebuah algoritma bisa menjadi solusi bagi korupsi yang telah mengakar selama puluhan tahun di Albania?Â
Ataukah ini hanya strategi politik baru, sebuah kemasan modernitas untuk menutupi masalah lama? Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita menengok sejarah Albania dan luka lama yang diwariskan oleh masa lalunya.
Albania, Luka Lama, dan Janji Baru
Albania adalah negara kecil di Balkan yang baru lepas dari cengkeraman otoritarianisme pada awal 1990-an. Di bawah rezim komunis Enver Hoxha, negara ini terisolasi dari dunia luar selama hampir setengah abad.Â
Ketika komunisme runtuh, Albania mencoba membangun sistem demokrasi, tetapi proses transisi itu jauh dari mulus. Institusi yang lemah, budaya politik tertutup, dan lemahnya supremasi hukum membuka jalan bagi maraknya praktik korupsi.
Transparency International menempatkan Albania di peringkat ke-80 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024 dengan skor 42/100 (Transparency International, 2024).Â
Angka ini memang sedikit lebih baik dibandingkan awal tahun 2000-an ketika Albania masih berada di papan bawah, tetapi tetap menunjukkan masalah serius yang belum terselesaikan. Praktik nepotisme, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang masih dianggap hal biasa dalam birokrasi maupun politik lokal.