Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fragmentasi Solidaritas dalam Aktivisme Gen Z

19 September 2025   07:01 Diperbarui: 19 September 2025   07:39 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aksi unjuk rasa oleh Gen Z. (Sumber: bbc.com/Getty Images )

Menurut penelitian Nielsen (2021), sebanyak 64% Gen Z di Asia Tenggara mengaku pernah ikut serta dalam gerakan sosial secara online, tetapi hanya 17% yang benar-benar terlibat dalam aksi offline. Data ini menggambarkan adanya jurang antara solidaritas digital dan aksi nyata.

Selain itu, Gen Z juga membawa karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka cenderung lebih individualis dalam mengekspresikan pendapat, meskipun dalam konteks kolektif. Hal ini kadang membuat gerakan yang mereka bangun lebih fokus pada visibilitas personal dibanding substansi isu. Perbedaan orientasi ini berpotensi memecah konsistensi solidaritas dalam jangka panjang.

Latar belakang inilah yang menjadikan fragmentasi solidaritas sebuah isu yang menarik untuk dikaji. Aktivisme Gen Z memang penuh semangat, tetapi apakah semangat itu mampu menyatukan mereka dalam perjuangan berkelanjutan atau justru memperlihatkan retakan-retakan baru?

Solidaritas yang Mulai Retak

Ketika kita berbicara tentang solidaritas, yang terbayang adalah kebersamaan dan komitmen untuk berjuang bersama. Namun, dalam praktiknya, solidaritas Gen Z sering kali tampak rapuh. Banyak gerakan sosial yang mereka gaungkan mengalami penurunan dukungan hanya dalam hitungan minggu. Fenomena ini menunjukkan adanya keterbatasan daya tahan solidaritas.

Salah satu penyebab retaknya solidaritas adalah perbedaan isu prioritas. Gen Z dikenal peduli pada banyak hal sekaligus, mulai dari lingkungan, pendidikan, kesehatan mental, hingga politik. Namun, kepedulian yang terlalu tersebar ini membuat fokus mereka terpecah. Ketika ada isu baru yang lebih menarik perhatian, dukungan terhadap isu lama perlahan memudar.

Selain itu, algoritma media sosial juga berperan besar dalam membentuk fragmentasi. Isu-isu yang dianggap menarik oleh algoritma akan lebih sering muncul di linimasa, sementara isu lain terpinggirkan. Akibatnya, solidaritas yang terbentuk sering kali ditentukan oleh popularitas, bukan oleh urgensi masalah.

Ego sektoral antar komunitas juga menjadi faktor lain. Meskipun banyak komunitas Gen Z mengusung tema inklusif, realitasnya tidak selalu demikian. Terkadang, kelompok-kelompok ini saling bersaing untuk mendapatkan pengakuan atau sorotan publik, sehingga kerja sama menjadi sulit terjalin.

Di sisi lain, ada kecenderungan bahwa solidaritas lebih banyak diarahkan pada pencitraan. Aksi sosial yang diunggah di media sosial sering kali digunakan sebagai bentuk branding personal. Ini tidak salah, tetapi jika motivasi utama bergeser ke arah popularitas, maka solidaritas sejati berisiko terkikis.

Tidak jarang pula, perbedaan pandangan internal membuat solidaritas semakin terfragmentasi. Misalnya, ada kelompok yang lebih memilih jalur demonstrasi langsung, sementara kelompok lain merasa kampanye digital sudah cukup. Perbedaan strategi ini bisa menimbulkan ketegangan.

Semua faktor ini menggambarkan bahwa solidaritas Gen Z memang ada, tetapi kualitas dan daya tahannya masih sering dipertanyakan. Retakan-retakan kecil ini lama-kelamaan bisa menjadi celah besar yang melemahkan perjuangan mereka.

Contoh Kasus Konkret

Salah satu contoh nyata bisa dilihat dari aksi menolak Omnibus Law pada 2020. Gerakan ini pada awalnya menyatukan banyak mahasiswa dan pelajar dalam satu solidaritas besar. Namun, setelah gelombang demonstrasi menurun, perhatian publik pun ikut meredup. Beberapa kelompok masih melanjutkan perjuangan, tetapi tidak lagi dengan dukungan masif seperti di awal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun