Ruang siber kini diakui sebagai "domain kelima" pertahanan negara, sejajar dengan darat, laut, udara, dan luar angkasa.Â
Kasus terbaru ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui Satuan Siber melaporkan dugaan tindak pidana kreator konten Ferry Irwandi menimbulkan perdebatan: apakah keterlibatan militer di ruang digital adalah kebutuhan strategis atau justru bentuk penyalahgunaan kewenangan?Â
Pertanyaan ini penting, sebab UUD 1945 Pasal 30 jelas membagi tugas TNI untuk pertahanan negara dan Polri untuk penegakan hukum sipil.
Dari perspektif keamanan nasional, keterlibatan militer di ruang siber bisa dianggap wajar. Ancaman digital saat ini mencakup serangan terhadap infrastruktur vital, kebocoran data, hingga perang disinformasi yang berpotensi melemahkan stabilitas politik.Â
Amerika Serikat, misalnya, membentuk U.S. Cyber Command, sementara Tiongkok mengoperasikan PLA Strategic Support Force untuk menghadapi ancaman serupa (Nye, 2010; Rid, 2013).Â
Indonesia, dengan kapasitas Polri dan lembaga sipil yang terbatas, berhadapan dengan dilema: apakah TNI perlu mengambil peran lebih besar di dunia maya?
Namun, di sisi lain, militerisasi ruang digital juga mengandung risiko serius bagi demokrasi. Keterlibatan TNI dalam kasus Ferry Irwandi dikritik Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebagai langkah melampaui kewenangan karena menyentuh ranah pidana sipil (ICJR, 2025).Â
Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 105/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa hanya individu, bukan institusi, yang dapat melaporkan pencemaran nama baik.Â
Artinya, langkah TNI bukan hanya problematis secara hukum, tetapi juga dapat menjadi preseden kriminalisasi terhadap warga yang kritis.
Risiko lain adalah terbentuknya surveillance state, di mana aktivitas digital warga dipantau militer atas nama keamanan.Â