Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatranus) adalah raksasa lembut yang dikenal dengan kecerdasan dan memori luar biasanya. Hewan ini hidup dalam kelompok, dipimpin seekor betina, dan memiliki kebiasaan unik yang diwariskan lintas generasi: berjalan menelusuri jalur migrasi yang sama dari waktu ke waktu.
Jalur itu bukan hanya jalan setapak, melainkan semacam peta ekologis yang menyatukan hutan, sungai, dan padang rumput dalam satu rangkaian harmoni.
Namun, peta kuno itu kini kian memudar. Ketika hutan berubah menjadi hamparan perkebunan sawit, jalur migrasi gajah yang terbentuk selama ratusan bahkan ribuan tahun mendadak terputus.
Bagi manusia, perkebunan sawit mungkin adalah simbol pertumbuhan ekonomi, tetapi bagi gajah, sawit adalah tembok raksasa yang menutup jalan pulang.
Bayangkan seekor induk gajah yang memimpin kawanan melewati jalur leluhurnya, lalu tiba-tiba dihadang pagar listrik, ladang sawit, dan deru mesin truk. Kebingungan itu bukan sekadar tragedi satwa liar, melainkan simbol konflik antara dua dunia: alam yang berusaha bertahan dan manusia yang terus memperluas wilayahnya.
Migrasi Gajah yang Hilang
Secara ilmiah, gajah dikenal sebagai hewan dengan daya ingat luar biasa. Mereka mampu mengingat jalur yang ditempuh nenek moyangnya dan selalu kembali ke jalur itu dari musim ke musim.
Jalur migrasi ini bukan hanya penting untuk kelangsungan hidup gajah, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem.
Saat gajah berjalan, mereka menyebarkan biji-bijian, membuka jalur alami di hutan, dan menghubungkan ekosistem yang berbeda. Tanpa gajah, fungsi ekologis itu ikut menghilang.
Sayangnya, hutan yang menjadi rumah mereka terus menyempit. Data World Wide Fund for Nature (WWF) mencatat bahwa populasi gajah Sumatra kini hanya tersisa sekitar 1.300 hingga 1.700 ekor di alam liar.
Angka ini menurun drastis dari puluhan ribu ekor beberapa dekade lalu. Habitat gajah juga telah berkurang lebih dari 70% dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, terutama akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit (WWF Indonesia, 2023).