Di beberapa wilayah, seperti Aceh, Riau, dan Lampung, jalur migrasi gajah yang dulunya terbuka kini berubah menjadi blok-blok perkebunan. Gajah yang terbiasa berjalan lurus mengikuti jalur leluhurnya sering kali terjebak di tengah lahan sawit.
Mereka kehilangan arah, terpecah dari kawanannya, dan sering kali dianggap sebagai hama oleh pemilik lahan.
Sebuah laporan dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di Sumatra Utara menunjukkan bahwa konflik antara gajah dan manusia meningkat tajam dalam satu dekade terakhir.
Gajah yang kelaparan kerap masuk ke perkebunan sawit atau kebun masyarakat, menghancurkan tanaman, bahkan memasuki pemukiman. Situasi ini menimbulkan ketegangan: bagi gajah, sawit adalah penghalang; bagi manusia, gajah adalah ancaman.
Kondisi ini memperlihatkan paradoks besar. Perkebunan sawit yang menjanjikan keuntungan ekonomi justru menciptakan kerugian ekologis yang tak ternilai. Jalur migrasi yang hilang bukan hanya soal jalan, tetapi juga soal hilangnya warisan alam yang telah terbentuk sejak ribuan tahun.
Krisis yang Timbul
Hilangnya peta migrasi gajah membawa dampak berlapis, baik bagi satwa maupun bagi manusia. Bagi gajah, kehilangan jalur migrasi sama dengan kehilangan identitas. Mereka terbiasa hidup berpindah dari satu titik ke titik lain, mengikuti musim dan ketersediaan makanan. Saat jalur itu terputus, gajah terpaksa mencari jalan baru yang sering kali mengarah ke wilayah manusia.
Konflik pun tak terelakkan. Di Riau, tercatat lebih dari 20 kasus gajah mati dalam 10 tahun terakhir akibat diracun atau terkena pagar listrik ilegal (BKSDA Riau, 2022).
Di Lampung, sejumlah gajah masuk ke desa karena jalur migrasi mereka tertutup perkebunan sawit, mengakibatkan kerugian ekonomi bagi warga.
Dalam situasi seperti ini, manusia merasa dirugikan, sementara gajah diposisikan sebagai musuh. Padahal, gajah hanyalah korban dari perubahan lanskap yang diciptakan manusia sendiri.