Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Rakyat Berjuang Melawan Cacing, Inflasi, dan PHK: Mengapa Politik Anggaran Kita Masih Berpihak pada Elite?

25 Agustus 2025   11:00 Diperbarui: 25 Agustus 2025   10:32 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masyarakat miskin. (Foto: KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS)

Indonesia sering disebut sebagai negeri yang kaya sumber daya alam, subur tanahnya, dan besar jumlah penduduknya. Namun di balik narasi optimisme itu, ada kenyataan pahit yang sulit dibantah: rakyat kecil masih berjuang mati-matian untuk bertahan hidup, sementara para elite politik hidup dengan fasilitas negara yang melimpah. Perbedaan ini tidak sekadar masalah gaya hidup, tetapi mencerminkan bagaimana negara menentukan siapa yang layak diprioritaskan dalam kebijakan anggaran.

Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan tunjangan rumah anggota DPR yang mencapai 50 juta rupiah per bulan. Angka ini terasa sangat mencolok jika dibandingkan dengan realitas sehari-hari rakyat. Di saat banyak orang menunda membeli lauk karena harga sembako naik, di Senayan justru muncul fasilitas tambahan demi kenyamanan anggota dewan. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: ke arah mana sebenarnya politik anggaran kita diarahkan?

Ketika berita tunjangan DPR itu ramai, publik juga disuguhi kabar memilukan dari Sukabumi. Seorang balita meninggal dunia dengan tubuh yang dipenuhi cacing. Kondisi rumah yang kotor, orang tua yang sakit dan mengalami gangguan jiwa, serta akses layanan kesehatan yang tidak memadai membuat anak itu kehilangan nyawa. Tragedi ini menjadi simbol nyata bahwa kebijakan kesehatan dasar masih jauh dari tuntas.

Sementara itu, data kemiskinan dan pengangguran juga memperlihatkan gambaran yang tidak kalah kompleks. BPS memang mencatat penurunan angka kemiskinan, namun garis kemiskinan nasional masih sangat rendah jika dibandingkan dengan standar Bank Dunia. Di sisi lain, jumlah pengangguran tetap tinggi, bahkan menjadi salah satu yang terbesar di kawasan ASEAN. Gelombang PHK di sektor manufaktur semakin menambah beban.

Kontras yang tajam inilah yang perlu kita renungkan bersama. Di satu sisi, ada rakyat yang mati karena cacingan, hidup di garis kemiskinan, atau kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, ada elite yang mendapat tunjangan mewah dengan dalih rumah dinas tidak layak huni. Ironi ini membuat kita bertanya, untuk siapa sebenarnya negara bekerja?

Potret Rakyat di Akar Rumput

Kisah balita bernama Raya dari Sukabumi menjadi potret telanjang tentang bagaimana rakyat kecil sering hidup di kondisi yang jauh dari layak. Rumahnya berupa panggung kayu dengan kolong yang dipenuhi kotoran ayam. Ibunya mengalami gangguan jiwa, sementara ayahnya sakit TBC. Dalam lingkungan seperti itu, anaknya tumbuh tanpa perlindungan yang cukup. Tubuhnya dipenuhi cacing gelang, hingga pada akhirnya nyawa kecil itu tidak tertolong.

Kasus ini sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Penyakit cacingan, yang sering dianggap sepele, masih menjadi ancaman nyata di berbagai daerah dengan sanitasi buruk. Padahal pemerintah sudah menyediakan obat cacing gratis di puskesmas. Pertanyaannya, mengapa program itu tidak sampai ke anak seperti Raya? Jawabannya terletak pada lemahnya data, kurangnya edukasi, dan terbatasnya jangkauan layanan kesehatan ke keluarga rentan.

Kematian Raya seharusnya menjadi alarm keras. Tidak cukup hanya dengan pernyataan belasungkawa atau pembelaan dari pejabat bahwa kematiannya disebabkan infeksi berat, bukan cacingan. Faktanya, tubuh balita itu benar-benar dipenuhi cacing, dan itu adalah cermin dari buruknya kondisi kesehatan masyarakat di tingkat akar rumput. Tragedi ini menyingkap jurang antara klaim kesehatan publik yang "sudah ditangani" dengan kenyataan di lapangan yang masih penuh celah.

Selain masalah kesehatan, rakyat juga dihadapkan pada tekanan ekonomi. BPS memang mencatat bahwa angka kemiskinan nasional menurun menjadi 8,47 persen pada Maret 2025. Namun angka ini tidak sepenuhnya menggambarkan realitas. Garis kemiskinan nasional hanya sekitar 609 ribu rupiah per orang per bulan. Bandingkan dengan standar Bank Dunia yang menggunakan 6,85 dolar per hari, atau sekitar tiga juta rupiah per bulan. Dengan standar itu, lebih dari separuh penduduk Indonesia sebenarnya masih hidup dalam kategori miskin.

Di pasar, harga bahan pokok terus merangkak naik. Beras, cabai, telur, minyak goreng---semua menjadi lebih mahal. Sementara penghasilan tidak ikut naik. Bagi keluarga buruh harian, nelayan, atau pedagang kecil, ini berarti harus mengurangi jatah makan, mencari pekerjaan tambahan, atau berutang di warung. Penurunan angka kemiskinan versi statistik tidak serta-merta membuat kehidupan sehari-hari lebih ringan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun