Bagi banyak orang, pertemuan dengan calon mertua adalah salah satu momen paling menegangkan dalam perjalanan cinta. Seindah apa pun hubungan yang dijalani, sehebat apa pun rasa percaya antara dua pasangan, begitu orangtua dilibatkan, suasana bisa berubah.Â
Orangtua sering kali tidak hanya menjadi saksi, melainkan juga penentu arah hubungan. Dari situlah muncul perasaan campur aduk: grogi, cemas, penuh harap, dan kadang berujung kecewa.
Dalam perbincangan publik akhir-akhir ini, fenomena restu orangtua kembali mencuat lewat cerita Soimah. Lewat sebuah podcast, ia mengaku menguji pacar anaknya hingga membuat calon menantu tersebut menangis dan memilih mundur.Â
Cerita itu memancing reaksi keras di media sosial. Ada yang menganggap tindakan Soimah wajar sebagai bentuk proteksi, tetapi ada pula yang menilai sikapnya terlalu ketus hingga membuat anak justru kehilangan pasangan.Â
Terlepas dari kontroversinya, fenomena itu membuka kembali diskusi lama: apakah restu calon mertua benar-benar menentukan masa depan hubungan?
Dalam masyarakat kita, restu orangtua hampir selalu dianggap sakral. Bukan sekadar tanda tangan di atas surat nikah, melainkan simbol penerimaan sosial dan budaya. Banyak pasangan yang sudah mantap menikah akhirnya batal karena restu tidak kunjung didapatkan.Â
Ada juga yang nekat menikah tanpa restu, tetapi kemudian menghadapi konflik panjang. Tidak heran jika pepatah "kalau jodoh gak bakal ke mana" kerap dipertanyakan ulang: sejauh mana pepatah itu berlaku bila restu orangtua tidak mengiringinya?
Pepatah itu sering digunakan untuk menenangkan diri. Ketika hubungan kandas karena tidak direstui, orang berkata, "Mungkin dia bukan jodohmu, karena kalau jodoh gak bakal ke mana."Â
Namun, di balik kata-kata itu terselip ironi. Apakah benar yang menentukan jodoh adalah takdir, atau justru restu orangtua yang punya kekuatan lebih besar? Pertanyaan ini terus menghantui banyak pasangan muda di Indonesia, terutama mereka yang hidup dalam kultur yang masih sangat menekankan peran keluarga.
Restu dalam Lintasan Budaya
Untuk memahami betapa besar arti restu, kita perlu menengok ke dalam akar budaya di Indonesia. Hampir semua adat menempatkan orangtua dan keluarga besar sebagai gerbang utama dalam menerima menantu. Tidak heran bila sejak dulu, pertemuan pertama antara calon menantu dengan keluarga sering kali menjadi ujian yang menentukan.