Musik adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang tak bisa dilepaskan dari denyut nadi masyarakat. Di ruang-ruang publik seperti pusat perbelanjaan, kafe, taman kota, hingga kendaraan umum, musik hadir bukan hanya sebagai hiburan semata, melainkan juga sebagai pengikat suasana. Musik memberi rasa nyaman, menghadirkan nuansa kebersamaan, dan memperkuat identitas budaya yang hidup di tengah masyarakat.
Namun, di balik keindahan itu, terdapat persoalan yang seolah tak berkesudahan: persoalan royalti. Setiap nada yang terdengar di ruang publik terikat pada aturan hukum yang menuntut adanya kewajiban pembayaran kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Bagi sebagian orang, aturan ini terasa wajar sebagai bentuk penghormatan terhadap karya. Tetapi bagi yang lain, khususnya pengelola ruang publik, kewajiban tersebut sering dipandang sebagai beban tambahan yang tidak sederhana.
Kondisi ini menimbulkan gesekan yang tak jarang berujung pada kebingungan, bahkan konflik. Masyarakat ingin menikmati musik secara bebas, pencipta ingin mendapatkan haknya, sementara pengelola ruang publik harus berhadapan dengan regulasi yang kaku. Akibatnya, yang muncul adalah rasa ketidakpuasan dari berbagai pihak. Situasi seperti ini memperlihatkan bahwa masalah royalti musik bukan sekadar urusan teknis, melainkan juga persoalan keadilan sosial dan kebudayaan.
Di sinilah pentingnya peran pemerintah dan lembaga manajemen kolektif. Keduanya memegang kunci untuk menemukan jalan tengah, yaitu keseimbangan antara penghormatan pada hak cipta dan pemenuhan hak masyarakat untuk menikmati musik. Tanpa adanya keterlibatan aktif kedua pihak ini, persoalan royalti akan terus menjadi lingkaran yang tidak menemukan titik temu.
Musik, Hak Cipta, dan Ruang Publik
Musik, pada hakikatnya, adalah bahasa universal yang dapat dinikmati oleh siapa saja tanpa memandang batas. Kehadirannya di ruang publik menciptakan ruang sosial yang lebih hidup. Coba bayangkan sebuah pusat perbelanjaan tanpa musik, suasananya akan terasa kaku dan sepi. Atau sebuah taman kota tanpa alunan lagu, pasti terasa kurang menyenangkan bagi pengunjung. Musik membuat ruang publik lebih ramah dan menarik bagi masyarakat luas.
Namun, di sisi lain, musik bukanlah sekadar suara yang mengalun bebas. Ia lahir dari kreativitas pencipta yang membutuhkan waktu, tenaga, dan pemikiran. Karena itulah, musik memiliki nilai ekonomi yang diakui dalam bentuk hak cipta. Regulasi di Indonesia melalui Undang-Undang Hak Cipta menegaskan bahwa setiap pemanfaatan karya musik untuk tujuan komersial atau publik harus disertai pembayaran royalti kepada pencipta. Aturan ini sejatinya dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi para seniman agar mereka dapat terus berkarya.
Masalah muncul ketika prinsip ideal tersebut berhadapan dengan kenyataan di lapangan. Tidak semua ruang publik memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk membayar royalti sesuai ketentuan. Sebagian besar pelaku usaha kecil, kafe sederhana, atau fasilitas publik yang dikelola pemerintah daerah kerap merasa keberatan. Mereka menilai kewajiban ini terlalu membebani, apalagi ketika transparansi perhitungan royalti seringkali masih dipertanyakan.
Bagi masyarakat sebagai pengguna ruang publik, persoalan ini juga berdampak langsung. Banyak pengelola memilih untuk tidak memutar musik sama sekali demi menghindari tuntutan pembayaran. Akibatnya, ruang publik kehilangan daya tarik yang seharusnya menjadi hak bersama. Masyarakat menjadi korban dari kebijakan yang belum menemukan keseimbangan.
Lebih jauh lagi, isu ini memunculkan perdebatan antara dua kepentingan besar: kepentingan ekonomi kreator dan kepentingan sosial masyarakat. Kreator musik berhak mendapatkan imbalan dari karyanya, namun publik juga berhak memperoleh akses budaya tanpa halangan yang berlebihan. Ketegangan ini menegaskan bahwa masalah royalti musik bukan sekadar soal kontrak hukum, tetapi juga tentang bagaimana negara memandang musik sebagai bagian dari kepentingan umum.
Dalam konteks ruang publik, musik sering diposisikan sebagai common good, sesuatu yang seharusnya dapat diakses semua orang. Sama halnya dengan taman kota atau jalan umum, musik di ruang publik semestinya bisa dinikmati tanpa ada rasa terbatasi. Tetapi regulasi yang ada saat ini justru menimbulkan kesan seolah musik adalah barang mewah yang hanya bisa dinikmati mereka yang mampu membayar.