Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kalau "Jodoh Gak Bakal ke Mana", Benarkah Restu Calon Mertua Menentukan Hubungan?

25 Agustus 2025   09:00 Diperbarui: 25 Agustus 2025   00:15 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengenalkan pasangan kepada orangtua (Foto: Shutterstock via antaranews.com)

Dalam tradisi Jawa, restu dikaitkan erat dengan konsep "bibit, bebet, bobot". Tiga hal itu menjadi pertimbangan utama dalam menerima menantu. Bibit merujuk pada asal-usul keluarga, bebet pada status sosial, dan bobot pada kualitas pribadi. 

Restu orangtua tidak hanya melihat seberapa besar cinta pasangan, tetapi juga sejauh mana pasangan itu bisa menyesuaikan diri dengan standar keluarga. Dari sini terlihat bahwa restu lebih mirip evaluasi multidimensi ketimbang sekadar persetujuan.

Minangkabau menghadirkan wajah yang berbeda. Karena sistem matrilineal, justru pihak perempuan yang melamar laki-laki. Namun, restu keluarga besar tetap menjadi syarat mutlak. Seorang laki-laki bisa diterima atau ditolak berdasarkan kesanggupannya menyesuaikan diri dengan adat. Restu tidak hanya datang dari orangtua, tetapi juga dari seluruh keluarga besar yang merasa ikut bertanggung jawab menjaga harmoni.

Di Batak, restu tidak hanya soal suka atau tidak suka, tetapi juga soal aturan adat yang ketat. Pernikahan sesama marga, misalnya, dianggap tabu dan bisa memicu penolakan keras. Restu dalam tradisi Batak tidak bisa ditawar karena menyangkut kehormatan keluarga besar. Seseorang bisa mencintai sepenuh hati, tetapi bila aturan adat dilanggar, restu akan sulit diperoleh.

Dalam masyarakat Bugis-Makassar, restu orangtua diwujudkan lewat tradisi uang panai'. Besarnya uang panai' sering kali menjadi ujian berat, seolah-olah cinta perlu dibuktikan dengan nominal tertentu. Meski terkesan materialistis, bagi orang Bugis uang panai' adalah simbol penghargaan terhadap keluarga perempuan. Restu baru bisa diberikan jika syarat ini terpenuhi.

Tradisi Bali juga menempatkan restu sebagai inti pernikahan. Prosesi ngidih atau meminang resmi selalu menekankan peran keluarga. Restu bukan sekadar formalitas, melainkan penentu apakah pernikahan bisa dilaksanakan dengan sah secara adat dan agama. Begitu pula di Toraja, restu keluarga besar menjadi syarat mutlak sebelum pesta adat diselenggarakan.

Semua contoh ini menunjukkan satu hal: restu bukan sekadar kata ya atau tidak, melainkan bagian dari sistem sosial dan budaya yang sudah berurat akar. Maka, pepatah "kalau jodoh gak bakal ke mana" dalam konteks budaya Indonesia sering kali harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa jodoh tidak bisa berjalan sendiri tanpa restu orangtua.

Pertarungan antara Cinta dan Restu

Namun, zaman telah berubah. Generasi sekarang hidup di era digital dengan akses informasi yang luas. Cinta tidak lagi dibatasi oleh jarak, agama, atau latar belakang sosial. Orang bisa bertemu pasangan lewat aplikasi, media sosial, atau bahkan komunitas global. Pilihan semakin terbuka, dan cinta tidak lagi sekaku dulu. Pertanyaannya, apakah restu masih punya kekuatan yang sama besar?

Banyak pasangan muda yang menganggap cinta cukup untuk mengikat hubungan. Mereka percaya bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya, termasuk restu orangtua. Tidak jarang kita mendengar kisah pasangan yang nekat menikah tanpa restu, lalu hidup mandiri tanpa campur tangan keluarga. Bagi sebagian orang, ini adalah bukti bahwa pepatah "kalau jodoh gak bakal ke mana" benar adanya, karena cinta bisa bertahan meski tanpa restu.

Namun, tidak sedikit pula cerita yang berakhir pahit. Pasangan yang menikah tanpa restu sering kali menghadapi tekanan psikologis yang berat. Mereka harus menanggung rasa bersalah, konflik keluarga, bahkan isolasi sosial. Restu yang hilang membuat hubungan terasa timpang. Cinta memang bertahan, tetapi luka yang ditinggalkan tidak mudah sembuh.

Di sinilah dilema muncul. Apakah kita harus berjuang demi restu, meski hubungan sudah mantap? Atau lebih baik tetap melanjutkan hubungan meski tanpa restu? Tidak ada jawaban pasti. Setiap pasangan punya cerita sendiri, dan setiap keluarga punya standar berbeda. Yang jelas, pertarungan antara cinta dan restu selalu menjadi titik rawan dalam hubungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun