Kasus Soimah memberi ilustrasi menarik. Ia tidak menolak pacar anaknya secara langsung, tetapi memberi ujian yang berat. Dari kacamata Soimah, itu adalah cara untuk mengukur kesungguhan. Dari kacamata pacar anaknya, itu adalah pengalaman yang menyakitkan. Di titik ini terlihat jelas bagaimana restu bisa menjadi pedang bermata dua: bisa melindungi, bisa juga melukai.
Media sosial memperbesar perdebatan ini. Netizen terbelah antara yang mendukung dan menolak sikap Soimah. Yang mendukung melihatnya sebagai bentuk kasih sayang orangtua, sementara yang menolak menganggapnya terlalu keras. Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa generasi sekarang masih kebingungan menentukan posisi restu dalam hubungan. Apakah restu harus dilihat sebagai keharusan mutlak, atau hanya sebagai pelengkap?
Ketika cinta dan restu bertarung, yang sering kali terlupakan adalah dialog. Banyak konflik muncul bukan karena orangtua tidak sayang, tetapi karena komunikasi tidak berjalan. Orangtua ingin memastikan anaknya bahagia, sementara anak ingin diakui pilihannya. Jika keduanya bisa bertemu di tengah, mungkin restu tidak lagi terasa seperti ujian berat, melainkan jembatan menuju harmoni.
Menimbang Kembali Pepatah "Kalau Jodoh Gak Bakal ke Mana"
Pepatah ini kerap diucapkan untuk menghibur diri. Saat hubungan gagal, orang berkata, "Kalau jodoh gak bakal ke mana." Kalimat ini memberi rasa tenang, seolah-olah semua sudah diatur oleh takdir. Namun, dalam praktiknya, pepatah ini sering kali menjadi semacam perisai untuk menutupi luka yang dalam.
Dalam konteks restu, pepatah ini terasa paradoks. Jika benar jodoh tidak akan ke mana, mengapa begitu banyak hubungan gagal hanya karena restu tidak diberikan? Apakah berarti orangtua adalah bagian dari takdir itu sendiri? Ataukah sebenarnya pepatah ini hanya cara kita berdamai dengan kenyataan pahit?
Banyak orang percaya bahwa jodoh adalah bagian dari kehendak Tuhan. Namun, kehendak itu bekerja lewat berbagai medium, salah satunya restu orangtua. Jika restu tidak didapat, mungkin itu pertanda bahwa hubungan memang bukan jalannya. Dari sudut pandang ini, restu adalah salah satu tanda jalan yang menunjukkan arah.
Namun, generasi sekarang sering kali menafsirkan pepatah ini lebih personal. Mereka percaya bahwa jodoh adalah hasil perjuangan. Restu bisa diperjuangkan, cinta bisa dipertahankan, dan semua tidak hanya bergantung pada takdir. Dengan pandangan ini, pepatah berubah makna: jodoh memang tidak akan ke mana, tetapi kita juga harus berusaha keras untuk mencapainya.
Mungkin, cara terbaik melihat pepatah ini adalah dengan keseimbangan. Jodoh memang misteri, tetapi restu orangtua tetap penting. Restu bukan hanya tentang tradisi, tetapi juga tentang dukungan emosional yang akan menentukan keberlangsungan rumah tangga. Tanpa restu, cinta bisa terasa rapuh. Dengan restu, cinta punya pondasi yang lebih kokoh.
Pepatah "kalau jodoh gak bakal ke mana" sebaiknya tidak hanya dijadikan penghiburan, tetapi juga pengingat bahwa perjalanan menuju jodoh tidak pernah sendirian. Ada keluarga, ada budaya, ada restu yang perlu dirangkul. Cinta yang hanya berdiri berdua kadang terlalu ringkih untuk menghadapi badai kehidupan.
Maka, benarkah restu calon mertua menentukan hubungan? Jawabannya adalah iya, dalam banyak kasus restu memang sangat menentukan. Namun, bagaimana cara mendapatkan restu, bagaimana cara memperjuangkan cinta, dan bagaimana cara berdamai dengan kenyataan, itulah yang membuat setiap kisah cinta menjadi unik. Pepatah mungkin sederhana, tetapi kehidupan nyata selalu lebih kompleks.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI