Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Apakah Program MBG Masih Dipercaya?

24 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 22 September 2025   15:37 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Puri Husada Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau, pada Jumat malam 22 Agustus 2025 mendadak panik. Puluhan murid SD Negeri 032 Tembilahan masuk satu per satu dengan wajah pucat, beberapa menangis kesakitan sambil dipeluk orang tua mereka. 

Anak-anak itu mengeluh pusing, sakit perut, bahkan muntah-muntah tanpa henti. Dokter dan perawat kewalahan menangani pasien kecil yang datang hampir bersamaan.

Semua bermula dari kegiatan yang seharusnya menyenangkan: makan bersama dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Program ini diluncurkan pemerintah sebagai upaya mulia untuk memperbaiki gizi anak sekolah.

Namun, malam itu justru yang terlihat adalah deretan anak-anak lemah di ranjang rumah sakit. "Mienya bau, tapi anak saya tetap makan. Tidak lama kemudian dia muntah dan pingsan," ujar Titin, salah satu orang tua murid, dikutip dari Tribun News (23/8/2025).

Peristiwa ini bukan pertama kalinya. Di Sragen, Jawa Tengah, ratusan orang pernah diduga keracunan setelah menyantap makanan MBG (Kompas, 2024).

Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kejadian serupa juga menimpa sejumlah siswa. Pola kasus yang berulang membuat publik bertanya: apa yang sebenarnya terjadi dengan program yang digadang-gadang sebagai solusi gizi anak bangsa ini?

Di satu sisi, banyak orang tua berharap MBG menjadi jawaban atas kebutuhan gizi anak-anak, terutama mereka yang berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi.

Namun di sisi lain, rasa cemas kian tumbuh. Apakah makanan gratis itu benar-benar menyehatkan, atau justru menyimpan risiko kesehatan yang lebih besar?

Baca juga: Musik Publik

Pertanyaan ini bukan hanya tentang makanan basi atau distribusi yang tidak higienis. Lebih jauh, ini menyangkut bagaimana pemerintah merancang, mengawasi, dan memastikan program sebesar MBG berjalan sesuai tujuan mulianya. Inilah dilema yang kini mengemuka: antara keadilan gizi dan keamanan konsumsi.

Gambaran Program MBG 

Program Makanan Bergizi Gratis adalah salah satu janji politik besar yang digaungkan pemerintah pusat. Tujuan utamanya sederhana tapi sangat penting: memastikan semua anak Indonesia, tanpa memandang status sosial-ekonomi, mendapatkan asupan gizi seimbang di sekolah. 

Program ini sekaligus digadang sebagai strategi untuk menurunkan angka stunting yang masih tinggi di berbagai daerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat prevalensi stunting nasional masih berada di angka 21,6 persen, jauh dari target 14 persen pada 2024.

Dengan MBG, anak-anak diharapkan bisa mengonsumsi makanan sehat minimal sekali sehari. Harapannya, mereka lebih konsentrasi belajar, tidak mudah mengantuk, dan tumbuh dengan tubuh yang lebih sehat.

Sebuah konsep yang di atas kertas terlihat indah, sekaligus menyentuh sisi keadilan sosial. Sebab, realitas menunjukkan banyak anak di daerah miskin yang datang ke sekolah dengan perut kosong.

Program ini juga berusaha menutup kesenjangan gizi antarwilayah. Anak-anak kota yang relatif mudah mengakses makanan bergizi tidak lagi terlalu jauh berbeda dengan anak-anak di desa yang sering hanya mengandalkan makanan seadanya. Dalam konteks keadilan sosial, MBG merupakan langkah progresif.

Selain itu, program ini memiliki dimensi ekonomi. Ribuan penyedia jasa katering lokal dan usaha kecil menengah berpeluang menjadi bagian dari rantai distribusi makanan. Artinya, MBG tidak hanya memberi manfaat pada siswa, tapi juga membuka lapangan kerja dan roda ekonomi lokal.

Namun, realisasi program ini menghadapi tantangan besar. Persoalan anggaran, mekanisme distribusi, hingga pengawasan kualitas makanan sering kali tidak sejalan dengan visi mulia yang dicanangkan.

Dalam banyak kasus, penyedia makanan dipilih secara terburu-buru, sementara standar kebersihan dapur dan bahan baku sering kali luput dari pantauan ketat.

Di atas kertas, MBG memang tampak sebagai "kado gizi" untuk anak bangsa. Tapi di lapangan, banyak orang tua justru ragu membiarkan anaknya makan. Apa gunanya makanan gratis bila risiko keracunan mengintai?

Kesenjangan antara konsep dan pelaksanaan inilah yang akhirnya menimbulkan dilema. Program yang dimaksudkan sebagai jawaban atas masalah gizi justru berpotensi menambah masalah baru di ruang IGD rumah sakit.

Masalah yang Berulang 

Sejak awal peluncuran, program MBG sudah beberapa kali dikaitkan dengan kasus keracunan massal. Di Sragen pada Februari 2024, 251 orang---terdiri dari siswa, guru, dan keluarga mereka---diduga keracunan usai mengonsumsi paket makanan MBG. Pemerintah daerah terpaksa menghentikan distribusi sementara untuk dilakukan evaluasi (Kompas.id, 2024).

Kasus lain muncul di Kupang pada Mei 2024. Sejumlah siswa sekolah dasar mengalami mual, muntah, dan diare setelah menyantap nasi dengan lauk ayam yang sudah berbau. Orang tua murid bahkan sempat protes di depan kantor pemerintah daerah karena merasa anak-anak dijadikan korban uji coba program.

Kini, kejadian serupa terulang di Tembilahan, Riau. Narasinya hampir sama: makanan dengan bau tidak sedap, siswa muntah, dan akhirnya harus dirawat. Pola yang konsisten ini menimbulkan kesan bahwa masalahnya bukan insidental, melainkan sistemik.

Salah satu faktor yang sering disebut adalah proses distribusi makanan yang panjang. Di beberapa daerah, makanan dimasak di dapur pusat lalu dibawa ke sekolah-sekolah dengan jarak cukup jauh. Dalam cuaca panas tanpa pendingin memadai, kualitas makanan tentu mudah menurun.

Selain itu, pengawasan di tingkat sekolah sering kali hanya bersifat administratif. Guru atau pihak sekolah tidak selalu berani menolak makanan yang sudah dikirim, meski kadang tampak tidak segar. Mereka khawatir dianggap tidak mendukung program pemerintah.

Masalah lain terletak pada pemilihan penyedia katering. Beberapa laporan investigasi menunjukkan adanya dapur fiktif atau usaha katering tanpa standar higienitas yang jelas. Kompas (2024) menulis bahwa di Jawa Barat ditemukan titik dapur MBG yang bahkan tidak memiliki fasilitas layak untuk memasak massal.

Di sisi lain, anak-anak adalah kelompok paling rentan. Sistem kekebalan tubuh mereka belum sekuat orang dewasa, sehingga makanan basi atau terkontaminasi mudah menimbulkan gejala keracunan. Artinya, satu kesalahan kecil dalam pengolahan bisa berdampak besar pada kesehatan.

Orang tua pun semakin waswas. Awalnya, mereka menyambut gembira ketika anak-anak diberi makan bergizi gratis. Tapi setelah mendengar kasus berulang, rasa syukur itu berubah menjadi kecemasan. Banyak yang mulai melarang anak mereka makan di sekolah dan memilih membekali dari rumah.

Masalah berulang ini menunjukkan ada yang salah di level implementasi. Program yang seharusnya menumbuhkan rasa percaya justru melahirkan krisis kepercayaan. Tanpa evaluasi serius, kasus keracunan MBG tampaknya hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi di daerah lain.

Dilema yang Mengemuka 

Dari kasus-kasus keracunan yang terus berulang, dilema besar mulai tampak. Program MBG hadir dengan niat mulia: memastikan anak-anak sekolah dasar mendapat asupan gizi memadai. Namun, di sisi lain, kejadian-kejadian keracunan membuat banyak pihak bertanya apakah program ini benar-benar aman dijalankan.

Keadilan gizi menjadi argumen terkuat pendukung MBG. Tidak semua anak lahir dalam keluarga yang mampu menyediakan sarapan sehat setiap hari. Data BPS tahun 2022 mencatat hampir 10 persen rumah tangga Indonesia masih berada dalam kategori miskin.

Artinya, jutaan anak datang ke sekolah dengan perut kosong. Dalam konteks ini, MBG berfungsi sebagai penyeimbang yang menghadirkan kesempatan belajar yang lebih setara.

Namun, di hadapan manfaat itu, ada risiko besar yang tidak bisa diabaikan: keamanan konsumsi. Jika makanan yang diberikan tidak higienis atau penyimpanannya tidak sesuai standar, justru anak-anak yang harus menanggung akibatnya. Alih-alih menjadi sehat, mereka jatuh sakit. Alih-alih lebih fokus belajar, mereka justru absen karena harus dirawat.

Inilah dilema yang sering kali tidak dipertimbangkan secara mendalam. Ketika program dikebut untuk memenuhi janji politik, pengawasan di lapangan sering kalah cepat. Akibatnya, kualitas makanan bisa saja terabaikan, meski semangatnya ingin memberi yang terbaik.

Kondisi ini diperparah dengan krisis kepercayaan. Orang tua yang sebelumnya mendukung kini ragu melepas anak mereka makan di sekolah. Tidak jarang, anak-anak diminta untuk menolak makanan gratis dan tetap membawa bekal dari rumah. Padahal, tujuan awal program adalah membantu keluarga yang kesulitan menyediakan bekal.

Dilema juga muncul pada pihak sekolah. Mereka berada di tengah-tengah: di satu sisi wajib mendukung program pemerintah, di sisi lain tidak bisa menutup mata terhadap keluhan orang tua dan siswa. Guru, yang seharusnya fokus mengajar, kini juga ikut menanggung kekhawatiran soal kualitas makanan.

Pemerintah daerah pun sering terjepit. Jika program dihentikan, mereka khawatir dianggap tidak mendukung visi nasional. Namun jika diteruskan tanpa perbaikan, risiko kejadian keracunan akan terus menghantui. Inilah dilema kebijakan publik yang nyata: antara melanjutkan program dengan segala resikonya atau berhenti demi keselamatan sementara.

Lebih jauh, dilema ini juga menyangkut citra politik. Program MBG adalah program besar dengan dana triliunan. Keberhasilannya akan menjadi bukti komitmen pemerintah terhadap kesehatan generasi muda. Namun kegagalannya bisa membuka celah kritik yang luas, terutama dari kelompok yang sejak awal meragukan efektivitasnya.

Pada akhirnya, dilema MBG bukan sekadar soal makanan. Ia adalah gambaran nyata bagaimana sebuah program besar bisa terjebak dalam pertarungan antara idealisme dan realitas. Antara niat mulia dan implementasi yang rapuh. Antara gizi yang adil dan konsumsi yang aman.

Dampak Lebih Luas 

Kasus keracunan MBG tidak berhenti pada rasa sakit yang diderita anak-anak. Ada dampak lebih luas yang mengintai, baik secara psikologis, sosial, maupun politis.

Pertama-tama, kita harus melihat sisi psikologis anak. Bagi siswa sekolah dasar, pengalaman sakit setelah makan di sekolah bisa meninggalkan trauma. Mereka bisa menjadi takut untuk menyentuh makanan gratis lagi, bahkan ketika makanan itu sebenarnya aman.

Trauma ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga tentang rasa percaya. Anak-anak yang sebelumnya antusias menyantap makanan bersama teman-teman kini mungkin lebih memilih menutup kotak bekal mereka. Situasi ini dapat menciptakan ketidaknyamanan dalam interaksi sosial di kelas.

Dampak sosial juga tidak kalah penting. Orang tua murid mulai mempertanyakan kredibilitas sekolah dan pemerintah. Diskusi-diskusi di grup WhatsApp wali murid sering kali dipenuhi dengan cerita kecurigaan dan kekhawatiran. Dari sinilah lahir ketidakpercayaan yang bisa menggerogoti dukungan masyarakat terhadap program pemerintah.

Ketidakpercayaan ini bisa meluas menjadi krisis legitimasi. Jika banyak orang tua tidak lagi mengizinkan anaknya ikut program MBG, maka tujuan pemerataan gizi pun sulit tercapai. Program akan berjalan setengah hati, hanya diikuti sebagian kecil siswa. Akhirnya, biaya besar yang digelontorkan tidak sebanding dengan hasilnya.

Selain itu, dampak terhadap sekolah juga cukup signifikan. Guru dan kepala sekolah bisa menjadi sasaran kemarahan orang tua, meskipun sebenarnya mereka hanya sebagai pelaksana. Beban administrasi bertambah karena harus melaporkan insiden, berkoordinasi dengan dinas kesehatan, hingga menenangkan orang tua yang panik.

Dampak ekonomi pun bisa dirasakan. Jika penyedia katering yang terlibat tidak dikelola dengan baik, kasus keracunan bisa menghancurkan reputasi mereka. Usaha kecil yang semestinya berkembang lewat MBG justru gulung tikar akibat kelalaian atau kurangnya pengawasan.

Dari perspektif kesehatan masyarakat, kasus berulang seperti ini juga menciptakan beban tambahan pada fasilitas kesehatan. Rumah sakit daerah harus mengalokasikan tenaga dan ruangan ekstra untuk menangani kasus keracunan massal, padahal kapasitas mereka sering kali terbatas.

Lebih jauh, kejadian ini memberi sinyal buruk pada upaya pemberantasan stunting. Bagaimana bisa angka stunting diturunkan jika anak-anak justru jatuh sakit akibat program yang seharusnya memperbaiki kondisi gizi mereka? Dampak ini bisa menciptakan kontradiksi dalam laporan keberhasilan program pemerintah.

Dampak politis juga jelas terlihat. Program MBG adalah salah satu kebijakan unggulan. Ketika program ini bermasalah, lawan politik akan menggunakan isu ini sebagai bahan kritik. Hal ini bisa berimplikasi pada citra pemerintahan, baik di tingkat daerah maupun pusat.

Dengan demikian, dampak keracunan MBG jauh melampaui sekadar sakit perut di ruang IGD. Ia menjalar ke psikologi anak, hubungan sosial di sekolah, kepercayaan orang tua, beban fasilitas kesehatan, hingga citra pemerintah. Inilah gambaran nyata bahwa sebuah kebijakan publik tidak bisa dipandang hanya dari niat baiknya, tetapi juga dari kualitas implementasinya.

Tawaran Solusi 

Meski masalah MBG tampak rumit, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Solusi pertama yang paling mendesak adalah meningkatkan pengawasan mutu makanan.

Pemerintah perlu menerapkan standar higienitas yang jelas dan ketat untuk setiap penyedia makanan. Tidak cukup hanya dengan dokumen administrasi, tetapi inspeksi langsung ke dapur katering harus dilakukan secara rutin.

Selain itu, rantai distribusi makanan harus diperbaiki. Jika jarak dapur ke sekolah terlalu jauh, maka perlu ada mekanisme penyimpanan dengan pendingin atau bahkan dapur mini di dekat sekolah. Dengan begitu, makanan tetap segar hingga ke tangan siswa.

Transparansi juga menjadi kunci. Daftar penyedia katering harus dibuka ke publik. Orang tua dan komite sekolah bisa ikut memantau siapa yang memasok makanan anak-anak mereka. Dengan keterbukaan, kontrol sosial akan muncul secara alami.

Sekolah juga seharusnya diberi kewenangan untuk menolak makanan yang tidak layak. Saat ini, banyak sekolah terjebak dalam posisi serba salah. Mereka tahu makanan kurang segar, tetapi tidak berani menolak karena takut dianggap tidak mendukung program. Aturan yang jelas dan perlindungan hukum bagi sekolah harus diberikan.

Orang tua pun bisa dilibatkan dalam pengawasan. Komite sekolah bisa membentuk tim kecil yang secara bergiliran memantau kualitas makanan setiap hari. Dengan begitu, pengawasan bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat langsung.

Edukasi kepada siswa juga penting. Anak-anak bisa diajarkan mengenali tanda-tanda makanan basi, seperti bau tidak sedap atau tekstur yang berlendir. Mereka juga perlu diberi keberanian untuk menolak makan jika makanan mencurigakan. Pendidikan semacam ini akan menambah lapisan perlindungan tambahan.

Selain itu, teknologi bisa dimanfaatkan. Aplikasi pengawasan makanan berbasis laporan cepat bisa dibuat, di mana guru atau orang tua dapat langsung melaporkan jika ada masalah. Laporan ini bisa menjadi sistem peringatan dini untuk mencegah kasus besar.

Dari sisi kebijakan, pemerintah pusat perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola MBG. Jangan sampai program sebesar ini hanya menjadi proyek politik tanpa mempertimbangkan kelayakan teknis. Audit independen terhadap penggunaan anggaran dan mekanisme distribusi menjadi hal yang mendesak.

Tidak kalah penting, keberlanjutan program harus diimbangi dengan pelatihan bagi penyedia makanan. Usaha kecil yang terlibat harus diberikan bimbingan tentang standar higienitas dan manajemen makanan massal. Dengan cara ini, kualitas penyedia akan meningkat seiring waktu.

Pada akhirnya, solusi tidak hanya soal teknis, tetapi juga soal komitmen. Jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan MBG sebagai program unggulan, maka keselamatan anak-anak harus ditempatkan di atas segalanya. Sebab, apalah artinya gizi gratis jika justru menghadirkan rasa sakit dan trauma bagi penerimanya.

Penutup 

Program Makanan Bergizi Gratis lahir dari niat mulia: memberi kesempatan yang sama bagi semua anak Indonesia untuk tumbuh sehat. Namun, perjalanan program ini penuh tantangan. Kasus keracunan di Sragen, Kupang, hingga Tembilahan menunjukkan ada masalah serius dalam implementasi.

Dilema pun mengemuka. Di satu sisi, program ini penting untuk mengatasi masalah gizi dan stunting. Di sisi lain, risiko keamanan yang terus menghantui membuat orang tua cemas. Inilah titik krusial di mana pemerintah harus membuktikan keseriusan, bukan hanya retorika.

Makanan seharusnya menjadi sumber energi dan kebahagiaan, bukan sumber rasa takut. Anak-anak berhak mendapatkan makanan yang layak dan aman. Orang tua berhak mendapatkan ketenangan hati ketika melepas anak mereka ke sekolah.

Maka, refleksi yang perlu kita pegang adalah sederhana: jangan sampai cita-cita menyehatkan anak bangsa justru berubah menjadi cerita menakutkan di ruang IGD.

Program MBG harus diperbaiki, bukan dihentikan. Ia harus dijalankan dengan keseriusan, bukan sekadar untuk memenuhi janji. Hanya dengan begitu, program ini bisa benar-benar menjadi hadiah gizi, bukan ancaman kesehatan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun