Program ini sekaligus digadang sebagai strategi untuk menurunkan angka stunting yang masih tinggi di berbagai daerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat prevalensi stunting nasional masih berada di angka 21,6 persen, jauh dari target 14 persen pada 2024.
Dengan MBG, anak-anak diharapkan bisa mengonsumsi makanan sehat minimal sekali sehari. Harapannya, mereka lebih konsentrasi belajar, tidak mudah mengantuk, dan tumbuh dengan tubuh yang lebih sehat.
Sebuah konsep yang di atas kertas terlihat indah, sekaligus menyentuh sisi keadilan sosial. Sebab, realitas menunjukkan banyak anak di daerah miskin yang datang ke sekolah dengan perut kosong.
Program ini juga berusaha menutup kesenjangan gizi antarwilayah. Anak-anak kota yang relatif mudah mengakses makanan bergizi tidak lagi terlalu jauh berbeda dengan anak-anak di desa yang sering hanya mengandalkan makanan seadanya. Dalam konteks keadilan sosial, MBG merupakan langkah progresif.
Selain itu, program ini memiliki dimensi ekonomi. Ribuan penyedia jasa katering lokal dan usaha kecil menengah berpeluang menjadi bagian dari rantai distribusi makanan. Artinya, MBG tidak hanya memberi manfaat pada siswa, tapi juga membuka lapangan kerja dan roda ekonomi lokal.
Namun, realisasi program ini menghadapi tantangan besar. Persoalan anggaran, mekanisme distribusi, hingga pengawasan kualitas makanan sering kali tidak sejalan dengan visi mulia yang dicanangkan.
Dalam banyak kasus, penyedia makanan dipilih secara terburu-buru, sementara standar kebersihan dapur dan bahan baku sering kali luput dari pantauan ketat.
Di atas kertas, MBG memang tampak sebagai "kado gizi" untuk anak bangsa. Tapi di lapangan, banyak orang tua justru ragu membiarkan anaknya makan. Apa gunanya makanan gratis bila risiko keracunan mengintai?
Kesenjangan antara konsep dan pelaksanaan inilah yang akhirnya menimbulkan dilema. Program yang dimaksudkan sebagai jawaban atas masalah gizi justru berpotensi menambah masalah baru di ruang IGD rumah sakit.
Masalah yang BerulangÂ
Sejak awal peluncuran, program MBG sudah beberapa kali dikaitkan dengan kasus keracunan massal. Di Sragen pada Februari 2024, 251 orang---terdiri dari siswa, guru, dan keluarga mereka---diduga keracunan usai mengonsumsi paket makanan MBG. Pemerintah daerah terpaksa menghentikan distribusi sementara untuk dilakukan evaluasi (Kompas.id, 2024).
Kasus lain muncul di Kupang pada Mei 2024. Sejumlah siswa sekolah dasar mengalami mual, muntah, dan diare setelah menyantap nasi dengan lauk ayam yang sudah berbau. Orang tua murid bahkan sempat protes di depan kantor pemerintah daerah karena merasa anak-anak dijadikan korban uji coba program.