Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Apakah Program MBG Masih Dipercaya?

24 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 22 September 2025   15:37 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, dampak terhadap sekolah juga cukup signifikan. Guru dan kepala sekolah bisa menjadi sasaran kemarahan orang tua, meskipun sebenarnya mereka hanya sebagai pelaksana. Beban administrasi bertambah karena harus melaporkan insiden, berkoordinasi dengan dinas kesehatan, hingga menenangkan orang tua yang panik.

Dampak ekonomi pun bisa dirasakan. Jika penyedia katering yang terlibat tidak dikelola dengan baik, kasus keracunan bisa menghancurkan reputasi mereka. Usaha kecil yang semestinya berkembang lewat MBG justru gulung tikar akibat kelalaian atau kurangnya pengawasan.

Dari perspektif kesehatan masyarakat, kasus berulang seperti ini juga menciptakan beban tambahan pada fasilitas kesehatan. Rumah sakit daerah harus mengalokasikan tenaga dan ruangan ekstra untuk menangani kasus keracunan massal, padahal kapasitas mereka sering kali terbatas.

Lebih jauh, kejadian ini memberi sinyal buruk pada upaya pemberantasan stunting. Bagaimana bisa angka stunting diturunkan jika anak-anak justru jatuh sakit akibat program yang seharusnya memperbaiki kondisi gizi mereka? Dampak ini bisa menciptakan kontradiksi dalam laporan keberhasilan program pemerintah.

Dampak politis juga jelas terlihat. Program MBG adalah salah satu kebijakan unggulan. Ketika program ini bermasalah, lawan politik akan menggunakan isu ini sebagai bahan kritik. Hal ini bisa berimplikasi pada citra pemerintahan, baik di tingkat daerah maupun pusat.

Dengan demikian, dampak keracunan MBG jauh melampaui sekadar sakit perut di ruang IGD. Ia menjalar ke psikologi anak, hubungan sosial di sekolah, kepercayaan orang tua, beban fasilitas kesehatan, hingga citra pemerintah. Inilah gambaran nyata bahwa sebuah kebijakan publik tidak bisa dipandang hanya dari niat baiknya, tetapi juga dari kualitas implementasinya.

Tawaran Solusi 

Meski masalah MBG tampak rumit, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Solusi pertama yang paling mendesak adalah meningkatkan pengawasan mutu makanan.

Pemerintah perlu menerapkan standar higienitas yang jelas dan ketat untuk setiap penyedia makanan. Tidak cukup hanya dengan dokumen administrasi, tetapi inspeksi langsung ke dapur katering harus dilakukan secara rutin.

Selain itu, rantai distribusi makanan harus diperbaiki. Jika jarak dapur ke sekolah terlalu jauh, maka perlu ada mekanisme penyimpanan dengan pendingin atau bahkan dapur mini di dekat sekolah. Dengan begitu, makanan tetap segar hingga ke tangan siswa.

Transparansi juga menjadi kunci. Daftar penyedia katering harus dibuka ke publik. Orang tua dan komite sekolah bisa ikut memantau siapa yang memasok makanan anak-anak mereka. Dengan keterbukaan, kontrol sosial akan muncul secara alami.

Sekolah juga seharusnya diberi kewenangan untuk menolak makanan yang tidak layak. Saat ini, banyak sekolah terjebak dalam posisi serba salah. Mereka tahu makanan kurang segar, tetapi tidak berani menolak karena takut dianggap tidak mendukung program. Aturan yang jelas dan perlindungan hukum bagi sekolah harus diberikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun