Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dari Red Notice ke Green Light, Saat Koruptor Menang Atas Sistem Hukum Global

23 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 22 Agustus 2025   16:56 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paulus Tannos. (Foto: Tempo/Setri Yasra)

Paulus Tannos, salah satu tersangka kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), seharusnya sudah lama mendekam di balik jeruji besi. Namun kenyataan justru berbanding terbalik. Alih-alih terkungkung dalam ruang tahanan, ia masih bisa melenggang bebas di Singapura, menjalankan bisnis, bahkan melancong ke sejumlah negara. Potret ini menjadi ironi besar bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Di mata publik, nama Tannos sudah identik dengan skandal besar yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Kasus ini menyeret banyak nama, termasuk Setya Novanto, yang kini bahkan sudah bebas bersyarat. Namun Tannos berbeda nasib: ia bukan sekadar buronan, melainkan buronan kelas dunia yang berhasil menundukkan sistem hukum lintas negara.

Harapan publik sebenarnya sederhana: begitu seseorang masuk dalam daftar red notice Interpol, maka pintu pelariannya akan tertutup rapat. Namun dalam kenyataan, red notice ternyata tidak seampuh yang dibayangkan. Status buronan Tannos tidak pernah benar-benar terbit di sistem Interpol, sehingga aparat di Thailand maupun Singapura tak bisa menahannya meski sudah mendapat informasi dari Indonesia.

Kisah Tannos kemudian membuka mata kita. Red notice yang seharusnya jadi "lampu merah" bagi buronan justru berubah menjadi "lampu hijau" untuk bergerak lebih leluasa. Dari sini muncul pertanyaan yang lebih dalam: apakah sistem hukum global benar-benar dirancang untuk mengejar keadilan, atau justru menyisakan ruang bagi mereka yang punya kuasa dan akses?

Red Notice: Harapan vs Realitas

Bagi masyarakat awam, red notice sering dipahami sebagai semacam surat perintah penangkapan internasional. Begitu nama seseorang masuk daftar itu, aparat di berbagai negara dianggap otomatis wajib menangkap dan menyerahkannya. Gambaran ini kerap dikuatkan oleh pemberitaan media yang mengangkat red notice sebagai "senjata pamungkas" melacak buronan lintas negara.

Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Red notice hanyalah bentuk pemberitahuan internasional yang dikeluarkan Interpol. Isinya berupa permintaan informasi dan pemantauan terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan. Dokumen ini bukanlah perintah mutlak yang mengikat secara hukum, sehingga aparat di negara tujuan masih perlu dasar hukum tambahan untuk melakukan penahanan.

Dalam kasus Tannos, ketiadaan red notice membuat aparat Thailand dan Singapura berada pada posisi serba salah. Meski sudah mendapat informasi dari tim Indonesia, mereka tidak bisa menahan seseorang yang tidak tercatat dalam sistem Interpol. Hukum imigrasi di negara tersebut jelas: penangkapan hanya bisa dilakukan jika ada dasar internasional yang sah. Akibatnya, Tannos lolos dari dua upaya besar penangkapan dalam waktu yang nyaris bersamaan.

Fakta ini menunjukkan adanya jarak yang besar antara persepsi publik dan kenyataan hukum internasional. Red notice tidak otomatis menjerat, apalagi menjamin seorang buronan langsung dipulangkan ke negara asalnya. Mekanisme ekstradisi tetap harus melalui perjanjian bilateral, sementara tidak semua negara memiliki kesepakatan semacam itu dengan Indonesia.

Yang lebih mengejutkan, red notice juga bisa ditolak atau dibatalkan. Seorang buronan bisa mengajukan keberatan langsung ke markas Interpol di Lyon, Perancis. Jika berhasil meyakinkan bahwa kasusnya tidak memenuhi kriteria kriminal, red notice bisa dihapus. Dalam konteks ini, seorang pengacara ulung dengan jaringan internasional menjadi aset berharga bagi para buronan kelas kakap.

Tidak heran jika red notice pernah disebut oleh sejumlah pengamat sebagai "senjata tumpul" yang lebih sering bekerja di atas kertas ketimbang di lapangan. Bukannya memutus ruang gerak, ia bisa justru menjadi penanda celah hukum yang bisa dimanfaatkan. Apa yang dialami Tannos hanyalah salah satu bukti paling nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun