Pendidikan sering kali dipahami sebatas ruang kelas, kurikulum, dan angka di rapor. Kita bangga ketika anak meraih nilai tinggi, atau cemas saat nilainya kurang. Namun di balik hiruk pikuk penilaian formal itu, ada ruang yang lebih menentukan, yaitu: rumah, tempat pendidikan sejati bermula.
Rumah adalah sekolah pertama bagi setiap anak. Di sanalah ia belajar menyebut kata, melangkah dengan kaki kecilnya, dan merasakan cinta tanpa syarat. Sebelum mengenal kurikulum sekolah atau ujian, anak telah menerima "kurikulum abadi" berupa kasih sayang keluarga.
Tema besar "Aspirasi Pendidikan Bermutu Untuk Semua" menjadi relevan ketika kita kembali menilik peran rumah. Pendidikan bermutu tidak cukup hanya dengan fasilitas modern atau teknologi canggih, tetapi lahir dari kualitas pendampingan orang tua.
Subtema "Bersama Dukung Anak Raih Pendidikan Berkualitas" pun menegaskan pentingnya kolaborasi. Guru, orang tua, dan anak harus saling melengkapi. Jika rumah kehilangan perannya, pendidikan anak akan timpang meski sekolah berusaha sebaik mungkin.
Rumah Sebagai Sekolah Pertama
Setiap anak lahir bagaikan kertas putih. Rumah menjadi tempat pertama coretan nilai, sikap, dan kebiasaan ditorehkan. Anak belajar berbicara bukan dari buku, tetapi dari suara ayah dan ibunya. Ia juga belajar mengenal emosi bukan dari teori psikologi, melainkan dari bagaimana ia dipeluk ketika menangis dan didengarkan ketika bercerita.
Pendidikan awal di rumah adalah fondasi penting bagi perjalanan intelektual dan sosial anak. Seorang anak yang terbiasa didengarkan akan lebih percaya diri ketika berbicara di kelas, sementara anak yang belajar berbagi di rumah akan lebih mudah menjalin hubungan dengan teman-temannya.
Orang tua, sadar atau tidak, adalah guru pertama bagi anak. Bahkan sebelum bisa membaca buku, anak sudah "membaca" perilaku ayah dan ibunya. Cara orang tua saling menghargai, menyelesaikan masalah, hingga memperlakukan orang lain menjadi pelajaran hidup yang nyata dan membekas lebih dalam daripada teori yang tertulis.
Rumah yang dipenuhi kasih sayang dan keteladanan menjadi sekolah karakter. Anak belajar jujur, disiplin, atau peduli bukan dari kata-kata semata, tetapi dari teladan yang ia lihat setiap hari. Itulah pendidikan sejati yang menumbuhkan akhlak, bukan sekadar kecerdasan intelektual.
Sayangnya, kesibukan orang tua sering membuat rumah berubah menjadi sekadar tempat singgah. Anak kemudian lebih banyak belajar dari televisi, gawai, atau lingkungan luar yang belum tentu memberi contoh baik. Padahal, anak tidak hanya butuh fasilitas mewah, tetapi juga ruang aman untuk bertumbuh bersama orang tuanya.
Jika rumah menjalankan perannya dengan baik, anak akan membawa modal besar ke jenjang pendidikan berikutnya. Fondasi emosional yang kuat membuat mereka lebih siap menghadapi tantangan akademik sekaligus berani mencoba, salah, lalu memperbaiki diri.