Menuju Diskursus Baru Pasca Vonis Bebas P Diddy
Oleh: Julianda Boang Manalu
Ketika vonis bebas dijatuhkan kepada Sean Combs, atau yang lebih dikenal dengan nama panggungnya, P Diddy, dalam kasus perdagangan seks yang menyertainya, publik dunia pun terbelah. Ada yang menyambut keputusan itu sebagai bentuk kemenangan keadilan formal, dan tak sedikit pula yang menyayangkannya---menganggap ini bukan kemenangan hukum, melainkan kekalahan moral.
P Diddy, tokoh sentral dalam industri musik hip-hop Amerika, telah menghadapi tuduhan serius yang menyangkut pelanggaran etika berat terhadap perempuan. Meski pengadilan memutuskan bahwa ia tidak bersalah secara hukum, perdebatan tentang kebersihannya secara moral belum selesai.Â
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk menyelami lebih jauh ketegangan antara ranah legal dan ranah etika yang menyertainya.
Putusan ini tidak sekadar menjadi akhir dari proses hukum, tetapi juga membuka sebuah babak baru dalam perbincangan sosial yang lebih luas.Â
Di mana letak batas antara 'tidak bersalah menurut hukum' dan 'tidak bersalah menurut nurani'? Apakah hukum selalu mampu menjadi representasi moral kolektif kita, atau justru sering tertinggal oleh dinamika sosial yang lebih cepat bergerak?
Antara Hukum dan Moral
Hukum dan moral memang tidak pernah berada dalam garis lurus yang harmonis. Sejarah mencatat banyak tokoh yang secara hukum dibebaskan, namun tetap dibayangi oleh kecaman moral masyarakat.Â
Di sinilah kita dihadapkan pada fakta bahwa hukum bekerja berdasarkan pembuktian dan prosedur formal, sementara moral berjalan di atas persepsi, intuisi, dan nilai-nilai kolektif yang tidak selalu tertulis.
Vonis bebas bagi P Diddy adalah hasil dari serangkaian pengujian bukti, kesaksian yang tak cukup kuat, dan strategi hukum yang efektif dari tim pengacaranya.Â
Tetapi apakah semua itu cukup untuk menghapus jejak-jejak luka dan trauma yang dirasakan oleh para perempuan yang menyuarakan tuduhannya?
Di sisi lain, masyarakat kita cenderung mengharapkan bahwa vonis hukum akan menjadi cermin dari apa yang kita nilai secara etis.Â
Maka, saat seseorang seperti P Diddy dinyatakan bebas, muncul kesan bahwa hukum tidak berpihak pada korban---terutama perempuan dalam kasus kekerasan seksual.Â
Padahal, dalam sistem hukum yang sangat prosedural dan birokratis, keberpihakan bukan ditentukan oleh empati, melainkan oleh kekuatan argumentasi hukum.
Fenomena seperti ini bukan hal baru. Kita pernah menyaksikan hal serupa dalam kasus-kasus besar seperti Harvey Weinstein atau Bill Cosby. Bahkan setelah proses hukum selesai, nama mereka tetap tertinggal dalam ingatan publik sebagai simbol dari ketimpangan kekuasaan dan kekerasan seksual yang lama dibiarkan.
P Diddy kini berdiri di antara barisan tokoh-tokoh yang secara legal bersih, tetapi secara moral masih menjadi perdebatan. Ini membuktikan bahwa masyarakat kita telah bergerak ke arah di mana nilai-nilai etika tidak lagi bisa ditundukkan oleh teks hukum semata.
Vonis Bebas, Tapi Tak Sepenuhnya Bersih
Dalam atmosfer sosial yang semakin sadar akan isu kekerasan seksual dan kesetaraan gender, vonis bebas terhadap tokoh publik seperti P Diddy bukan hanya soal hasil pengadilan, melainkan menjadi pemantik perdebatan sosial yang luas.Â
Masyarakat kini tak lagi pasif menerima hasil hukum semata, melainkan aktif mengkaji apakah sistem hukum tersebut benar-benar mencerminkan keadilan yang substantif.
Di media sosial, suara korban dan kelompok pendukungnya menggema lebih kuat dibandingkan dekade-dekade sebelumnya. Tagar-tagar solidaritas bermunculan.Â
Forum diskusi diwarnai oleh cerita-cerita dari para penyintas yang merasa bahwa putusan bebas seperti ini semakin menjauhkan mereka dari rasa aman dan keadilan. Ini menunjukkan bahwa meski putusan resmi telah dibacakan, pengadilan sosial masih berjalan.
Namun, penting dicatat bahwa diskursus baru ini bukan semata-mata untuk mempersoalkan hasil pengadilan.
 Yang lebih fundamental adalah bagaimana kasus seperti ini memperlihatkan kesenjangan dalam sistem hukum ketika berhadapan dengan kasus kekerasan seksual---khususnya yang melibatkan tokoh berpengaruh dan bermodal besar.Â
Bukti yang sulit dikumpulkan, intimidasi terhadap korban, dan strategi hukum yang penuh celah membuat keadilan seringkali tak mampu berdiri tegak di hadapan kekuasaan.
Dari sinilah masyarakat mulai mendorong lahirnya pendekatan baru terhadap keadilan, yaitu pendekatan berbasis etika kolektif.Â
Kita mulai berbicara tentang restorative justice, tentang pentingnya menciptakan ruang aman bagi korban untuk bersuara tanpa takut dibungkam, dan tentang perlunya edukasi publik yang tidak hanya mengajarkan hukum, tapi juga membentuk kesadaran moral.
Kasus P Diddy seharusnya menjadi titik refleksi, bukan hanya pada tataran personal atau selebritas, tetapi pada sistem hukum itu sendiri.Â
Kita harus bertanya, siapa yang benar-benar dilindungi oleh sistem hukum saat ini? Apakah hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang punya kuasa untuk menyelamatkan diri dari tuntutan moral?Â
Ataukah hukum bisa menjadi ruang yang mendengarkan, memulihkan, dan menyentuh nurani publik?
Tak dapat dimungkiri, keputusan pengadilan adalah keputusan final secara formal. Namun masyarakat yang cerdas dan kritis tidak berhenti pada satu titik legalitas.Â
Ia bergerak lebih jauh---membentuk diskursus baru yang tak hanya mengedepankan keadilan prosedural, tapi juga keadilan yang mengakar dari pengalaman hidup, luka, dan jeritan korban yang terlalu lama diabaikan.
Dalam suasana seperti ini, kita ditantang untuk tidak hanya menyalahkan sistem hukum, melainkan mendesak perbaikannya. Kita harus mendorong reformasi yang tidak sekadar mempercepat proses, tetapi juga memastikan bahwa setiap suara korban mendapat tempat yang setara dalam proses pengambilan keputusan.Â
Hukum harus menjadi alat yang merepresentasikan moral publik, bukan sekadar kumpulan pasal dan prosedur.
Dan di atas semua itu, masyarakat pun ditantang untuk menjadi lebih peka dan etis dalam merespons setiap putusan hukum.Â
Bukan dengan menghakimi secara sembrono, tetapi dengan memahami bahwa tidak semua kebenaran bisa dibuktikan secara legal, dan tidak semua keadilan bisa ditemukan di ruang sidang.Â
Sebab, keadilan sejati kadang lahir dari ruang-ruang perdebatan moral, nurani, dan solidaritas kolektif yang tak bisa dibungkam oleh vonis apa pun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI