Bukti yang sulit dikumpulkan, intimidasi terhadap korban, dan strategi hukum yang penuh celah membuat keadilan seringkali tak mampu berdiri tegak di hadapan kekuasaan.
Dari sinilah masyarakat mulai mendorong lahirnya pendekatan baru terhadap keadilan, yaitu pendekatan berbasis etika kolektif.Â
Kita mulai berbicara tentang restorative justice, tentang pentingnya menciptakan ruang aman bagi korban untuk bersuara tanpa takut dibungkam, dan tentang perlunya edukasi publik yang tidak hanya mengajarkan hukum, tapi juga membentuk kesadaran moral.
Kasus P Diddy seharusnya menjadi titik refleksi, bukan hanya pada tataran personal atau selebritas, tetapi pada sistem hukum itu sendiri.Â
Kita harus bertanya, siapa yang benar-benar dilindungi oleh sistem hukum saat ini? Apakah hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang punya kuasa untuk menyelamatkan diri dari tuntutan moral?Â
Ataukah hukum bisa menjadi ruang yang mendengarkan, memulihkan, dan menyentuh nurani publik?
Tak dapat dimungkiri, keputusan pengadilan adalah keputusan final secara formal. Namun masyarakat yang cerdas dan kritis tidak berhenti pada satu titik legalitas.Â
Ia bergerak lebih jauh---membentuk diskursus baru yang tak hanya mengedepankan keadilan prosedural, tapi juga keadilan yang mengakar dari pengalaman hidup, luka, dan jeritan korban yang terlalu lama diabaikan.
Dalam suasana seperti ini, kita ditantang untuk tidak hanya menyalahkan sistem hukum, melainkan mendesak perbaikannya. Kita harus mendorong reformasi yang tidak sekadar mempercepat proses, tetapi juga memastikan bahwa setiap suara korban mendapat tempat yang setara dalam proses pengambilan keputusan.Â
Hukum harus menjadi alat yang merepresentasikan moral publik, bukan sekadar kumpulan pasal dan prosedur.
Dan di atas semua itu, masyarakat pun ditantang untuk menjadi lebih peka dan etis dalam merespons setiap putusan hukum.Â