Pemilu Terpisah, Oligarki Lepas Kendali?
 Oleh: Julianda Boang Manalu
Pada 29 Juni 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi memutuskan pemisahan jadwal Pemilu Nasional dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan batas waktu pelaksanaan maksimal dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan anggota DPR/DPD.
Keputusan ini mengakhiri era pemilu serentak sejak 2019, ketika warga harus mencoblos lima surat suara dalam satu hari.
Sebuah langkah teknis yang dipuji karena mereduksi beban kerja penyelenggara, tetapi menyisakan pertanyaan mendalam: apakah pemilu terpisah justru membuka celah luas bagi oligarki politik untuk semakin merajalela?
Oligarki Politik di Tengah Kekosongan Jabatan
Salah satu dampak paling krusial dari pemilu terpisah adalah munculnya kekosongan jabatan di tingkat daerah selama lebih dari dua tahun.
Gelombang kosong ini bukan sekadar masalah administratif, namun menyentuh sendi-sendi kekuasaan lokal: siapa yang mengambil alih kekuasaan?Â
Jawabannya: pemerintah pusat melalui penunjukan Penjabat (Pj) kepala daerah. Ini bukan hal sepele. Bila tanpa regulasi ketat, Pj bisa menjadi alat mesin politik pusat.
Dilansir KOMPAS.COM (29/06/2025), Peneliti Universitas Indonesia, Aditya Perdana, mengingatkan bahwa masa jeda ini memberi potensi dominasi pusat atas daerah.Â
Tanpa UU Pemilu dan Pilkada yang kuat, Pj bisa digunakan untuk mengamankan wilayah politik tertentu. Seorang Pj bisa "menggelorakan" program dari pusat, mengatur peluang pencalonan hingga mempreteli kemerdekaan politik daerah.Â
Tanpa legitimasi langsung dari rakyat, jalur kekuasaan ini rentan disusupi hegemoni partai nasional atau aktor oligarki.