Tingginya angka pengangguran dan ketergantungan pada bantuan kemanusiaan, ironisnya, menjadi penopang kekosongan sosial---yang seringkali dieksploitasi oleh sistem bantuan global tanpa menyentuh akar penyebab konflik.
Bahkan proyek rekonstruksi kota Gaza dapat menjadi paradoks: di satu sisi, wujud perhatian dunia; namun di sisi lain, investasi ini seperti memberi subsidi pada sistem kekejian.Â
Dana bantuan masuk, proyek dilakukan, namun potensi serangan berikutnya tetap terbuka---maka siklus ulang yang disebut "rekonstruksi kosmetik" harusnya dibentengi dengan pemutusan aliran modal perang.
Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi---BDS---tampil sebagai usaha moral untuk memutus jalur keuntungan kapitalisme perang.Â
Seruan agar universitas, perusahaan, dan pemerintah menghentikan investasi, riset, atau kerja sama ekonomi dengan Israel menjadi wadah perjuangan yang kian tumbuh.Â
Namun kelompok ini menghadapi serangan balik: tuduhan antisemitis, hukum pembatas, dan disinformasi.
Apa yang bisa kita lakukan? Kunci terletak pada transparansi investasi global. Bank dan investor besar perlu melihat lebih tajam ke portofolio mereka---darimana dana mereka mengalir, dan apakah itu menanggung nyawa manusia?Â
Regulasi ketat terhadap ekspor senjata, auditing independen terhadap riset akademik---keduanya bisa menjadi jalan untuk menjebol ekonomi yang menopang agresi.
Akademisi juga harus melihat ulang peran mereka. Menjadi tidak netral berarti mengakui bahwa riset yang berhubungan dengan industri militer berpotensi digunakan untuk kejahatan.Â
Media pun perlu menjaga objektivitas dan keadilan naratif---agar pembaca tidak hanya diberi citra, tapi kesadaran: bahwa perang ini juga soal saling mangkirnya nilai kemanusiaan.
Membangun Solidaritas Global
Solidaritas tidak cukup dengan retorika. Harus dibarengi aksi nyata: dari menolak produk teknologi militer, memboikot lembaga sekutu kekerasan, hingga menerbitkan laporan independen tentang aliran senjata dan penyakit sosial akibatnya.Â