Data dari Detik memperlihatkan bahwa pedagang kaki lima dan pekerja informal di pusat perbelanjaan mendapatkan bantuan lewat skema BLT yang disalurkan secara terbatas melalui koridor ojek maupun prakerja pun masih minim dan lambat (detik.com) (antaranews.com).Â
Kalau pun ada bantuan, bentuknya biasanya uang tunai tak terarah, tanpa pelatihan, tanpa jejaring usaha, tanpa modal riil. Jadinya, setelah bantuan cair mereka kembali ke titik semula---berjuang, bergantung, berharap. Berulang. Satu Tahapan bantuan darurat menggantikan satu tahapan kerja produktif.
Ketika bantuan menjadi rutinitas, ia berubah dari solusi menjadi jebakan. Penerima merasa aman untuk sementara, tapi kehilangan insentif untuk mencari peluang kerja, mengembangkan usaha, atau melatih diri.Â
Bank Dunia pernah mencatat menurunnya jam kerja informal pasca bantuan uang cair. Ini bukan karena orang malas, tapi karena rasa aman dominan---"kalau tidak jualan, ada bantuan."Â
Padahal, mencari pekerjaan informal bukan semudah membalik telapak tangan: butuh pasar, butuh modal, butuh akses, dan butuh jaringan. Kalau semua serba terbatas, ya bantuan menjadi kambing hitam sekaligus penyelamat.
Sementara itu, bantuan subsidi yang tampak megah seringkali justru seperti simfoni nikmat bagi mereka yang sudah layak. Diskon tol, misalnya, hanya dinikmati oleh kelas menengah yang memiliki kendaraan sendiri, sedangkan tukang ojol, yang langsung merasakan naik-turunnya harga bensin dan sepi order, nyaris tak disentuh.Â
Subsidi listrik pun banyak menyasar konsumsi rumah tangga >900 VA, bukan 450 VA yang mayoritas dibutuhkan oleh keluarga miskin. Efeknya, subsidi besar mengalir ke pengguna yang tak terlalu membutuhkan, sementara garpu dana untuk penerima lebih ringan nyaris tak terasa (kompas.com) (news.detik.com).
Setelah bantuan cair, kuota internet untuk siswa madrasah pun lumayan terbeli, tetapi sinyal di kampung jauh tidak segera tersedia. Tokoh desa mungkin menerima modal usaha Rp500.000 sekian, tapi alatnya berupa kuota, bukan mesin jahit atau tabung elpiji.
Mereka jadi bagai supir tanpa mobil, pedagang tanpa lapak. Bayangan kail yang seharusnya mereka dapat untuk menangkap ikan tak kunjung datang; yang ada hanya ikan gratis sekali-sekali.
Penerima bansos pantas berterima kasih. Tapi rasa syukur mereka bercampur malu dan bingung: kapan bantuan akan dipotong? Apakah semua program hanya sebatas tide-meover?Â
Padahal, kehidupan nyata tidak menunggu. Ketiadaan pekerjaan produktif berarti pendapatan surut terus; pandemi belum sepenuhnya usai; biaya hidup makin tinggi.