Ini bukan kali pertama gaji ke-13 terlambat. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, pola ini sering terulang. Di sisi lain, kita melihat bahwa pemerintah justru sering berhasil mencairkan anggaran untuk proyek-proyek strategis atau bahkan belanja modal dengan lebih cepat. Maka, pertanyaannya adalah: di mana letak prioritas kita?
Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi para perencana anggaran dan pembuat kebijakan publik. Sudah saatnya kita tidak lagi melihat gaji ke-13 sebagai sekadar formalitas tahunan, tetapi sebagai bagian integral dari strategi fiskal yang mendukung stabilitas sosial dan ekonomi.
Lebih jauh dari itu, peristiwa ini juga mengungkapkan perlunya reformasi dalam sistem belanja pemerintah daerah. Koordinasi antara pusat dan daerah perlu diperkuat, tidak hanya dari sisi regulasi, tetapi juga dari sisi teknis dan komunikasi.Â
Jika pencairan dana masih terganjal oleh keterlambatan tanda tangan kepala daerah atau terhambat oleh revisi peraturan kepala daerah, maka sistem tersebut belum cukup adaptif terhadap kebutuhan nyata.
Di sisi lain, penting pula untuk membangun kesadaran bahwa kebijakan fiskal tidak boleh berjalan di ruang hampa. Ia harus memahami konteks masyarakat yang dilayaninya.Â
Artinya, jika dalam satu tahun terdapat momen-momen penting seperti Idul Adha atau tahun ajaran baru, maka anggaran yang terkait harus diprioritaskan dan disiapkan jauh-jauh hari.
Hal ini bukan hanya soal efisiensi birokrasi, melainkan juga soal empati. Banyak ASN yang harus menunda niat berkurban, merasa malu karena tak bisa memenuhi tradisi tahunan, atau bahkan harus meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.Â
Situasi ini menciptakan tekanan psikologis yang seharusnya bisa dihindari dengan perencanaan anggaran yang lebih matang.
Lebih luas lagi, ekonomi lokal yang terdampak akibat keterlambatan gaji ke-13 menunjukkan betapa pentingnya menjadikan kebijakan fiskal sebagai alat penggerak sektor riil. Pemerintah bisa menjadikan momen ini sebagai pelajaran untuk merancang sistem pencairan anggaran yang lebih fleksibel, responsif, dan adaptif terhadap dinamika sosial masyarakat.
Di tengah upaya pemulihan ekonomi pascapandemi, ketepatan waktu dalam belanja pemerintah adalah faktor kunci. Gaji ke-13 hanyalah satu dari sekian komponen, tetapi efeknya begitu luas. Ia menyentuh dapur rumah tangga, menggerakkan pasar tradisional, menyelamatkan omzet UMKM, dan bahkan menjaga stabilitas sosial menjelang hari raya.
Tentu tidak semua daerah mengalami keterlambatan. Ada juga daerah yang mampu mencairkan gaji ke-13 tepat waktu. Namun, ketimpangan ini justru memperkuat argumen bahwa sistem kita belum seragam dan belum cukup kuat untuk menjamin keadilan fiskal bagi seluruh ASN di Indonesia.