Bank Digital untuk Semua? Menakar Keadilan Akses di Era Finansial Modern
Oleh: Julianda BM
Beberapa tahun terakhir, bank digital menjelma menjadi simbol kemajuan. Dari proses buka rekening dalam hitungan menit hingga fitur manajemen keuangan yang lengkap dalam satu aplikasi, semua terasa serba mudah. Namun, di balik semarak promosi dan testimoni positif, ada satu pertanyaan mendasar yang kerap luput dibahas: apakah bank digital benar-benar untuk semua orang?
Digitalisasi perbankan seharusnya membawa harapan besar terhadap inklusi keuangan. Tapi kenyataannya, masih banyak kelompok yang tertinggal dalam perjalanan menuju masa depan tersebut. Lansia yang gagap teknologi, masyarakat di wilayah tanpa sinyal stabil, hingga penyandang disabilitas, sering kali menjadi kelompok yang tidak dilibatkan secara penuh dalam narasi kemajuan ini.
Mari kita mulai dari wilayah terluar Indonesia. Di banyak desa terpencil di Papua, Kalimantan, atau NTT, internet bukanlah sesuatu yang bisa diakses dengan mudah. Bahkan, listrik pun masih menjadi barang mewah di beberapa tempat. Dalam kondisi ini, ekspektasi agar warga menggunakan bank digital seperti halnya di kota besar jelas tak realistis.
Masalah lain datang dari keterbatasan perangkat. Aplikasi bank digital umumnya memerlukan smartphone dengan spesifikasi menengah ke atas serta sistem operasi yang cukup baru. Bagi masyarakat kelas bawah yang masih menggunakan ponsel keluaran lama, sekadar mengunduh aplikasi saja sudah menjadi tantangan tersendiri.
Kelompok lansia juga menghadapi hambatan berbeda. Banyak dari mereka yang sudah terbiasa dengan bank konvensional merasa canggung, atau bahkan takut, untuk menggunakan aplikasi bank digital. Antarmuka yang terlalu kompleks, istilah asing, hingga kekhawatiran akan penipuan digital membuat mereka memilih bertahan dengan metode lama---atau lebih parah, akhirnya tidak mengakses layanan keuangan sama sekali.
Kemudian ada penyandang disabilitas. Apakah aplikasi bank digital sudah cukup ramah terhadap pengguna tunanetra? Apakah mereka bisa melakukan verifikasi biometrik dengan lancar? Sayangnya, tak semua bank memperhatikan aspek ini secara serius. Fitur accessibility sering kali hadir sekadar sebagai formalitas, bukan sebagai bagian inti dari pengembangan aplikasi.
Sementara itu, edukasi digital juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Banyak masyarakat yang belum memahami dasar-dasar keamanan digital seperti mengenali phising, menjaga OTP, atau membuat PIN yang kuat. Ketidaktahuan ini membuat mereka sangat rentan terhadap kejahatan siber. Tanpa literasi digital yang kuat, penggunaan bank digital bisa berubah dari kemudahan menjadi ancaman.
Dari sisi bank, transformasi digital memang lebih efisien dan murah. Mereka bisa melayani lebih banyak nasabah tanpa harus membuka cabang baru. Tapi jika efisiensi itu berujung pada pengabaian kelompok rentan, maka ada harga sosial yang perlu dibayar.
Bank digital bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal keadilan. Bagaimana mungkin kita bicara inklusi keuangan jika sebagian masyarakat bahkan tidak punya akses untuk mulai menggunakan layanan tersebut? Di sinilah peran negara dan regulator menjadi penting---untuk memastikan bahwa semua warga negara mendapat kesempatan yang sama dalam mengakses layanan keuangan.