Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maling

6 Juli 2017   08:05 Diperbarui: 6 Juli 2017   08:28 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Sunur duduk di tumpukan bata yang tersusun memanjang dengan muka tegang. Nafasnya masih tak teratur, keringat mengucur membasahi kaos oblongnya yang lusuh. Ia menaikkan kaos bagian bawah keatas, hingga memperlihatkan perutnya yang basah penuh peluh.

"Nur!"

Tiba-tiba saja Marsinah ibunya yang sejak subuh sibuk di dapur telah ada di belakangnya.

"Sarapan dulu! Tadi mau berangkat malah ada bakul ayam nawar blorokmu. Enggak aku lepas Cuma ditawar tujuh puluh." Sambung marsinah sambil meletakkan bakul berisi nasi, ikan asin, dan sambal di tumpukan bata.

"Sudah enggak nafsu makan mak."

"Lha  apa sudah makan di warungnya inem?"


"Cetakan batanya hilang!"

Sunur sembarangan  menarik karung kosong dari celah-celah tumpukan bata. "Tadi pas mau aku ambil karungnya sudah di luar. Kosong." Katanya kemudian.

Marsinah seketika terpekur. Duduk disembarang lantai bedeng penuh abu bekas pembakaran bata bolong, yang juga sembarangan menyandarkan punggungnya di tumpukan bata yang siap diangkut pemborong. Melihat ibunya yang tiba-tiba lunglai, Sunur meloncat dari tempat duduk  meraih tubuh ibunya, kedua tangannya dipasangkan di bawah kedua ketiak ibunya. Sekuat tenaga berusaha mengangkat beban tubuh perempuan yang berukuran lebih besar itu.

"Mak! Bangun mak! Mak..."

(***)

Berita hilangnya cetakan Bata Bolong Sunur langsung tersebar melalui mulut ke mulut, terdengar ke telinga para tetangga.. Siang harinya berita itu sudah tersebar di seluruh pelosok kampung.

Sore harinya rumah Sunur ramai oleh tetangga yang menjenguk Marsinah. Sambil membawa ember berisi gula dan beras, para wanita berbondong-bondong datang. Marsinah hanya berbaring di atas ranjang saat para tetangga sambang.

Ritual sambang semacam itu seyogyanya sudah dilakukan penduduk kampung secara turun temurun sejak dahulu kala. Ketika ada tetangga yang kesusahan, penduduk kampung ramai-ramai menjenguk. Biasanya mereka malu jika tidak bisa hadir  menjenguk. Tetangga yang lain tentu tahu siapa saja yang tidak terlihat batang hidungnya.

Namun sejak satu dekade belakangan kebiasaan ini sedikit berubah. Jika dulu kesusahan yang dialami penduduk terkait kematian saja, saat ini yang sering malah sambang tetangga yang kemalingan. Sejak satu dasawarsa yang lalu, penduduk kampung di buat resah oleh teror para maling yang terus menerus menjarah barang-barang penduduk. Mulai dari kehilangan sapi, motor, kambing, ayam, kini merambah pada alat-alat rumah tangga. Seminggu yang lalu, di kala sore yang mendung. Saat Sunur sibuk menyigir bata ,  Hargi yang merupakan kemenakannya datang tergopoh-gopoh. Nafasnya masih tersengal saat tiba-tiba datang di bedengan Sunur mengadu. "Senapan anginku hilang wak. Padahal aku taruh di belakang lemari kamar." Katanya kemudian.

"Apa?"

(***)

Malam harinya rumah Sunur masih ramai di kunjungi para tetangga. Marsinah sudah bisa bercakap dengan para tetangga. "Sukurlah sudah enakan Bu RT." Katanya  saat ditanyai ketua arisan mingguan itu. Marni adik Sunur duduk di ranjang sambil memijiti kaki Marsinah. Para perempuan berkumpul di samping ranjang janda anak dua itu. Beberapa yang lain sibuk di dapur merebus air, membuat kopi untuk para tamu.

Rungan tengah dipenuhi para laki-laki yang berjejal di kursi. Asap rokok mengepul memenuhi ruangan menambah sesak dan bau yang menyengat, membaur dengan aroma tembakau, balsam, dan berbagai wewangian murah. Tampak Pak RT  duduk di tengah-tengah  para pemuda kampung. Membicarakan keamanan desa. "Setiap hari tetap saja ada maling, awas saja nanti kalau ketangkap. Akan aku telanjangi dan kutarik pakai motor di aspal!" Kata Pak RT sambil menarik sebatang rokok.

"Masalahnya akhir-akhir ini kita sudah mulai malas piket ronda, ke Poskamling paling cuma takut dimarahi kemendan."

"Iya Pak RT. Kemarin malam saja yang hadir cuma aku sama Sodik. Itupun pas mobil patroli balik Sodik langsung ngajak pulang. Masuk angin katanya."

"Eh...aku beneran masuk angina Jo!"

"Sudah-sudah! Enggak ada gunanya kita ribut-ribut." Pak RT memotong pertengkaran. Menyalakan rokok lalu meneruskan "Pantas saja kalau orang-orang kampung Bali meremehkan kalian. Orang kita emang gak bisa kompak. Mau nangkap maling saja sudah ribut duluan. Coba lihat kampung Bali yang sebulan lalu habis nombak perutnya si maling motor di rumah pak Wayan."

"Jangan-jangan malingnya orang sendiri pak RT?"

"Iya bisa jadi Pak RT! Atau mungkin orang di sini jadi mata-matanya saja, pelakunya orang Timuran ?"

"Betul...." "Nah." "Bisa jadi bisa jadi."

"Terus gimana cetakan saya Pak RT?"

Semua mata kini tertuju pada seorang yang dituakan. Pak RT yang ditunggu jawabannya terdiam,  mengeluarkan asap rokok yang dari tadi tertahan di paru-parunya, membiarkan asap bergulung-gulung di langit-langit, menggumpal bagaikan kabut di bawah lampu neon, membuat ruangan bertambah muram.

Malam itu mereka melakukan musyawarah dadakan, membahas keamanan kampung yang semakin hari semakin tidak nyaman. Pak RT memimpin. Saat para perempuan sudah kembali ke rumah masing-masing. Marsinah dan Marni sudah memasang selimut di kamar masing-masing, mematikan lampu. Lampu di dapur pun sudah padam, menyisakan ruang tamu dan teras yang masih menyala terang.

Pak RT di bantu Joko sebagai notula sibuk mencatat di selembaran kertas yang telah disiapkan Sunur. Yang lainnya terdiri dari beberapa orang tua dan pemuda Karang Taruna bergiliran mengusulkan gagasan. Hingga malam semakin larut, suara kokok ayam sudah terdengar sahut-sahutan, dan melalui perdebatan-perdebatan yang alot, akhirnya suara bulat menyatakan bahwa musyawarah dianggap selesai.

"Jaga malam jalan lagi!"

"Siap...!!!"

"Besok pagi-pagi semua sudah kumpul di sini langsung berangkat cari cetakan!"

"Siap...!!!"

Pak RT mengetok meja, mengajak bubar. Orang-orang menyalami Sunur. Keluar sembari memegangi pinggang yang sudah terasa pegal-pegal. Pulang.

(***)

Pagi yang di nanti-nanti pun datang kembali. Sunur yang semalaman tak bisa memejamkan mata kini merasa badanya tidak bisa digerakkan. Dengan memegangi dinding rumahnya dia berjalan hendak mencuci muka. Marsinah yang sedang sibuk di dapur merasa maklum jika kini Sunur bangun kesiangan. Ia hanya menoleh selintas saat sunur terhuyun menuju kamar mandi belakang, melanjutkan menggoreng. Menciptakan aroma khas ikan asin yang memenuhi ruangan dapur, membuat kucing kesayangan Sunur mengeong gelisah di kaki Marsinah.

"Nur...!!! Nur...!!!" Teriak Joko yang tiba-tiba nyelonong ke dapur. Tangannya meraih potongan tempe goreng yang masih panas. Melahapnya. "Ah...panas."

"Yang lain sudah datang?" Tanya Sunur. Tanganya sibuk menaikkaan resleting celana sambil beringsut keluar dari kamar mandi.

"Anu, gak jadi. Ada yang lebih gawat."

"Lho apa?"

"Motor Pak RT semalem dimaling orang."

(***)

Sunur menghela nafas panjang. Kini rencana tinggallah rencana. Mufakat  urun rembuk seolah tak pernah terjadi semalam. Tak mungkin pencarian cetakannya di agendakan, lebih-lebih sunur harus melupakan untuk sejenak lalu pergi ke rumah Pak RT.

Pagi hari itu giliran rumah Pak RT ramai orang-orang berkumpul. Meraka ramai-ramai berdatangan, memasang muka duka. Bu RT masih menangis terguncang. Mak Mah mertuanya menenangkan, di kerumuni para tetangga yang semakin menjejali rumah Pak RT.

Halaman rumahnya kini dipenuhi para laki-laki kampung. Berkerumun membentuk kelompok-kelompok. Ada yang nangkring di atas motor, ada yang berputar di kursi, ada yang duduk menyendiri menghadapi teh hangat dan menghisap rokok. Mereka saling bergumam, mengatur rencana mencari motor Pak RT ke daerah lain. Beberapa kelompok masih hangat membicarakan cetakan Sunur yang hilang kemarin malam.

Mereka serentak menoleh kearah Pak RT yang baru menampakkan mukanya. Menciptakan lingkaran memutar. Mengelilingi laki-laki gemuk berkumis tebal itu. Kini wajahnya semakin terlihat muram. "Ayo langsung dibagi saja!" Ketus joko tidak sabaran.. Pak RT manggut-manggut.

"Langsung dibagi enam kelompok ya! Masing-masing kelompok enam orang. Kelompok Didik langsung ke Bantan. Kelompok Warsi ke Mencak Kabu. Warji ke Tanjung Bulan. Pak Agus sama saya ke Beka Nol. Denok ke Trans Sepuluh ya. Totok ada Totok?"

"Hader boss..!!!"

Ke Banyu Mas. Nanti ketemu bang Johar di sana Tok."

"Siap boss...!!!"

"Sunur jaga kampung dulu. Ya Nur! Sama Joko. Joko mana Joko?

"Hadir boss...!"

Tak perlu menunggu lama orang-orang itu langsung membubarkan diri. Meloncat ke motornya masing-masing berpasang-pasang. Termasuk Pak RT yang terlihat dibonceng Wahid. Rombongan itu menciptakan suara gemuruh mesin motor. Beberapa orang sengaja mengocok gas persis rombongan orang yang hendak konvoi.

(***)

Kini rumah Pak RT kembali sunyi. Sunur, Joko, dan segelintir laki-laki masih siaga di rumah Pak RT. Mereka menunggu kabar pencarian hari ini. Sunur yang sekarang merasa sepi kembali gelisah memikirkan cetakannya yang hilang. Ia harus rela berhenti bekerja hari ini, mungkin juga besok, lusa dan seterusnya. Bukan karena cetakannya saja yang dipikirkan, tapi ia harus bersimpati pada tetangganya yang kehilangan barang berharganya. Membeli cetakan bata yang hilang secepaatnya toh tak mungkin, karena mengumpulkan uang sebanyak tiga ratus ribu di kampung tak semudah membalikkan telapak tangan. Ia harus menunggu batanya di tarik pemborong, beli kayu, bayar utang di warung, baru bisa menghitung sisanya untuk membeli cetakan lagi.

(***)

Sore itu Sunur dan Joko masih di rumah Pak RT. Menunggu para pencari yang satupun belum menampak batang hidungnya. Sunur yang kelelahan karena semalaman yang tak bisa tidur kini mulai was-was dan telah membuat keputusan; jika rombongn belum datang sampai magrib, dia pulang. Maka saat suara azan magrib berkumandang, dia melangkah gontai menuju rumahnya. Sunur tahu jika sampai magrib rombongan tidak menampak, pastilah mereka menginap. Desa Ponorogo jauh dari kota, di kelilingi hutan Barito dan kebun karet. Tak mungkin orang berani keluar malam berkendara motor, kecuali orang itu harus ikhlas dirampas motornya. Sambil terseok-seok Sunur melangkah dan menerka-nerka,"Siapa lagi besok pagi yang kemalingan?"

Palembang 06 Juli 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun