"Sudah-sudah! Enggak ada gunanya kita ribut-ribut." Pak RT memotong pertengkaran. Menyalakan rokok lalu meneruskan "Pantas saja kalau orang-orang kampung Bali meremehkan kalian. Orang kita emang gak bisa kompak. Mau nangkap maling saja sudah ribut duluan. Coba lihat kampung Bali yang sebulan lalu habis nombak perutnya si maling motor di rumah pak Wayan."
"Jangan-jangan malingnya orang sendiri pak RT?"
"Iya bisa jadi Pak RT! Atau mungkin orang di sini jadi mata-matanya saja, pelakunya orang Timuran ?"
"Betul...." "Nah." "Bisa jadi bisa jadi."
"Terus gimana cetakan saya Pak RT?"
Semua mata kini tertuju pada seorang yang dituakan. Pak RT yang ditunggu jawabannya terdiam, Â mengeluarkan asap rokok yang dari tadi tertahan di paru-parunya, membiarkan asap bergulung-gulung di langit-langit, menggumpal bagaikan kabut di bawah lampu neon, membuat ruangan bertambah muram.
Malam itu mereka melakukan musyawarah dadakan, membahas keamanan kampung yang semakin hari semakin tidak nyaman. Pak RT memimpin. Saat para perempuan sudah kembali ke rumah masing-masing. Marsinah dan Marni sudah memasang selimut di kamar masing-masing, mematikan lampu. Lampu di dapur pun sudah padam, menyisakan ruang tamu dan teras yang masih menyala terang.
Pak RT di bantu Joko sebagai notula sibuk mencatat di selembaran kertas yang telah disiapkan Sunur. Yang lainnya terdiri dari beberapa orang tua dan pemuda Karang Taruna bergiliran mengusulkan gagasan. Hingga malam semakin larut, suara kokok ayam sudah terdengar sahut-sahutan, dan melalui perdebatan-perdebatan yang alot, akhirnya suara bulat menyatakan bahwa musyawarah dianggap selesai.
"Jaga malam jalan lagi!"
"Siap...!!!"
"Besok pagi-pagi semua sudah kumpul di sini langsung berangkat cari cetakan!"