Mohon tunggu...
Listina Tunggal Dewi
Listina Tunggal Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Mahasiswi Ilmu Komunikasi asal Kuningan, Jawa Barat yang suka menulis dan berbagi cerita. Aktif menuangkan ide tentang lifestyle, keseharian anak muda, dan hal-hal yang relate dengan kehidupan sekarang. Baginya, menulis adalah cara sederhana untuk didengar dan menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Tenang Aja, Kamu Nggak Harus Sempurna" : Pergulatan Sunyi Gen z dan Lonjakan Anxiety

12 Juli 2025   18:55 Diperbarui: 12 Juli 2025   17:37 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Behind The Smile, By : John Holcroft Illustrator

Kuningan, 2025 — Bukan bentakan, bukan paksaan. Namun justru diam-diam, generasi muda hari ini—terutama Gen Z—tumbuh dengan tekanan halus yang menyakitkan. Bukan dari orang tua yang keras, melainkan dari perasaan ingin membanggakan mereka, dari rasa bersalah karena belum bisa setara dengan saudara kandung, dan dari standar tak terlihat yang dibuat sendiri karena terlalu sering membandingkan diri.

Rasa ingin jadi “anak yang membanggakan” perlahan berubah menjadi beban psikologis. Mereka merasa harus kuat, harus sukses, harus jadi solusi bagi keluarga. Di media sosial, teman-temannya terlihat “sudah sampai”—dapat beasiswa, kerja mapan, jadi konten kreator terkenal. Lalu mereka menatap diri sendiri dan bertanya, “Aku ngapain aja selama ini?”

Ekspektasi yang Tak Pernah Terucap, Tapi Selalu Terasa

Tak semua anak dimarahi atau dipaksa langsung. Justru banyak dari mereka tumbuh di keluarga yang “tampak baik-baik saja.” Tidak ada kalimat keras, tapi ada keheningan yang menekan. Mereka melihat orang tuanya bekerja keras, menahan lapar, menjual barang demi biaya kuliah, lalu merasa tidak punya pilihan selain berhasil.
Bahkan, kalaupun tidak diminta—mereka merasa wajib.

Kalimat seperti “kakak kamu dulu bisa,” atau “tetangga kita anaknya sudah kerja di Jakarta,” meski ringan, menjadi racun mental pelan-pelan. Mereka tidak pernah diizinkan gagal secara utuh. Dan saat gagal, mereka menyalahkan diri sendiri secara brutal.

Data yang Menyeruak: Gen Z dalam Darurat Kecemasan

Laporan Kementerian Kesehatan 2024 menunjukkan bahwa 1 dari 3 anak muda usia 15–24 tahun mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder), dan banyak di antaranya tidak pernah berkonsultasi dengan profesional. Penyebab tertinggi bukan trauma besar, melainkan tekanan akademik, pencapaian, dan rasa bersalah yang terus-menerus.

Mereka takut mengecewakan orang tua. Takut tak bisa membalas pengorbanan. Takut gagal sebelum mencoba. Dan pada akhirnya, mereka kehilangan hubungan dengan diri sendiri—tidak tahu lagi mana yang benar-benar mereka mau, dan mana yang hanya mereka kejar demi validasi.

Bertahan di Era Banding-Bandingan

Media sosial memperparah luka ini. Di sana, pencapaian jadi konsumsi publik, dan kekosongan jadi aib yang disembunyikan. Gen Z hidup dalam dunia yang meledakkan ekspektasi, tapi jarang menyediakan ruang istirahat.

Mereka merasa harus pintar, harus produktif, harus cepat kaya, harus tampil sehat mental—semuanya dalam satu waktu. Maka jangan heran, jika kecemasan, burnout, bahkan kelelahan eksistensial (existential fatigue) menjadi “penyakit diam-diam” generasi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun