Kuningan, 2025 — Bukan bentakan, bukan paksaan. Namun justru diam-diam, generasi muda hari ini—terutama Gen Z—tumbuh dengan tekanan halus yang menyakitkan. Bukan dari orang tua yang keras, melainkan dari perasaan ingin membanggakan mereka, dari rasa bersalah karena belum bisa setara dengan saudara kandung, dan dari standar tak terlihat yang dibuat sendiri karena terlalu sering membandingkan diri.
Rasa ingin jadi “anak yang membanggakan” perlahan berubah menjadi beban psikologis. Mereka merasa harus kuat, harus sukses, harus jadi solusi bagi keluarga. Di media sosial, teman-temannya terlihat “sudah sampai”—dapat beasiswa, kerja mapan, jadi konten kreator terkenal. Lalu mereka menatap diri sendiri dan bertanya, “Aku ngapain aja selama ini?”
Ekspektasi yang Tak Pernah Terucap, Tapi Selalu Terasa
Tak semua anak dimarahi atau dipaksa langsung. Justru banyak dari mereka tumbuh di keluarga yang “tampak baik-baik saja.” Tidak ada kalimat keras, tapi ada keheningan yang menekan. Mereka melihat orang tuanya bekerja keras, menahan lapar, menjual barang demi biaya kuliah, lalu merasa tidak punya pilihan selain berhasil.
Bahkan, kalaupun tidak diminta—mereka merasa wajib.
Kalimat seperti “kakak kamu dulu bisa,” atau “tetangga kita anaknya sudah kerja di Jakarta,” meski ringan, menjadi racun mental pelan-pelan. Mereka tidak pernah diizinkan gagal secara utuh. Dan saat gagal, mereka menyalahkan diri sendiri secara brutal.
Data yang Menyeruak: Gen Z dalam Darurat Kecemasan
Laporan Kementerian Kesehatan 2024 menunjukkan bahwa 1 dari 3 anak muda usia 15–24 tahun mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder), dan banyak di antaranya tidak pernah berkonsultasi dengan profesional. Penyebab tertinggi bukan trauma besar, melainkan tekanan akademik, pencapaian, dan rasa bersalah yang terus-menerus.
Mereka takut mengecewakan orang tua. Takut tak bisa membalas pengorbanan. Takut gagal sebelum mencoba. Dan pada akhirnya, mereka kehilangan hubungan dengan diri sendiri—tidak tahu lagi mana yang benar-benar mereka mau, dan mana yang hanya mereka kejar demi validasi.
Bertahan di Era Banding-Bandingan
Media sosial memperparah luka ini. Di sana, pencapaian jadi konsumsi publik, dan kekosongan jadi aib yang disembunyikan. Gen Z hidup dalam dunia yang meledakkan ekspektasi, tapi jarang menyediakan ruang istirahat.
Mereka merasa harus pintar, harus produktif, harus cepat kaya, harus tampil sehat mental—semuanya dalam satu waktu. Maka jangan heran, jika kecemasan, burnout, bahkan kelelahan eksistensial (existential fatigue) menjadi “penyakit diam-diam” generasi ini.
Kamu Tidak Gagal Hanya Karena Belum Sampai
Satu hal yang sering dilupakan: tidak semua anak punya jalur hidup yang sama. Dan tidak semua orang harus “jadi luar biasa” untuk berharga. Tidak bisa masuk kampus impian, belum dapat kerja tetap, masih bingung mau ke mana—itu bukan kegagalan. Itu bagian dari proses.
Kadang, kamu hanya butuh waktu untuk pulih. Bukan untuk jadi hebat, tapi cukup untuk merasa damai.
Kamu Layak Diterima, Bahkan Saat Tak Sempurna
Untuk kamu yang membaca ini sambil menyembunyikan lelah, yang merasa tertinggal, yang diam-diam menangis malam-malam:
Kamu tidak sendiri.
Kamu tidak gagal.
Kamu hanya terlalu keras pada dirimu sendiri karena ingin membuat semua orang bangga.
Tapi sebelum kamu membuat orang lain bangga, kamu harus tetap utuh.
Dan kamu tetap layak dicintai, bahkan saat kamu belum merasa cukup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI