Yang menarik, di tengah komentar-komentar receh, sebenarnya ada sisi kritis netizen Indonesia yang nggak bisa diremehkan.
Banyak yang bisa membaca konteks berita, membedakan mana fakta dan opini, bahkan menyindir kebijakan publik dengan gaya sarkas yang tajam.
Cuma... ya itu tadi, kadang kebablasan.
Komentar bisa berubah jadi ajang debat kusir, saling serang, bahkan saling lapor.
Bahkan ada yang pengin lucu, eh malah dilaporkan ke polisi.
Dunia maya memang tempat paling bebas tapi kebebasan tanpa kendali bisa cepat berubah jadi kekacauan.
Kenapa Kita Betah Baca Komentar?
Karena di komentar, kita nemuin rasa manusiawi. Berita sering terasa kaku, tapi komentar itu spontan, jujur, emosional, dan kadang absurd , persis kayak hidup kita sehari-hari.
Kolom komentar juga jadi semacam cermin sosial.
Dari situ kita bisa lihat cara orang berpikir, bereaksi, bahkan terkadang menggambarkan kondisi psikologis masyarakat secara tidak langsung.
Penutup: Tertawa, Tapi Tetap Punya Batas
Kolom komentar di media sosial memang tempat di mana rakyat berekspresi tanpa sensor, lucu, nyinyir, sarkas, kadang juga bijak.
Tapi di balik semua tawa itu, kita bisa belajar banyak hal: bahwa netizen Indonesia kritis, kreatif, tapi juga perlu ruang edukasi digital.
Jadi, kalau kamu scroll komentar dan ketawa sendiri, nggak apa-apa.
Karena di dunia maya, satu kalimat bisa bikin orang ketawa... atau justru terluka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI