Mohon tunggu...
Linda Utami
Linda Utami Mohon Tunggu... Penulis - Life Long Learner

Siswi SMAN 1 Gunungsari

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sanksi Pidana bagi Pelaku Ujaran Kebencian, Masih Relevankah?

11 Februari 2021   08:37 Diperbarui: 11 Februari 2021   08:46 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi.(Thinkstock)

Oleh: Fathul Hamdani

The purpose of conviction should be given for utilization, when the conviction doesn't bring anything, it just means nothing. - Thomas Aquinas

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit). Pertama, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kemudian disisi lain berkenaan dengan kemanfaatan dan keadilan, maka pertanyaannya mampukah kepastian hukum itu juga akan menghasilkan kebermanfaatan dan keadilan.

Masyarakat disamping mengharapkan adanya kepastian hukum, namun juga mengharapkan adanya keadilan dan kebermanfaatan untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat masyarakat.

Maka sebisa mungkin dalam mewujudkan kepastian hukum, di dalam legalitas formil suatu ketentuan peraturan perundang-undangan juga mengakomodir keadilan dan kemanfaatan. Karena undang-undang tidak lain merupakan perumusan dari norma-norma hukum itu sendiri.

Di dalam system hukum yang dianut oleh Indonesia yakni system eropa continental, kemudian menghendaki bahwa setiap peraturan lebih menekankan pada aturan yang sifatnya tertulis yakni melalui peraturan perundang-undangan atau yang kita kenal dengan asas legalitas, sehingga upaya untuk mencapai kepastian hukum merupakan konsekuensi logis dari asas legalitas itu sendiri.

Dalam ajaran utilitarianisme yang dicetuskan oleh Jeremi Bentham, bahwa aturan kemudian dibuat untuk memelihara kebaikan dan mencegah setiap keburukan, demi tercapainya kebahagiaan bagi sebesar-besarnya orang. Dalam upaya untuk mencapai sebuah kebahagian bagi warga masyarakat maka aturan yang dibuat pun harus berdasar pada nilai-nilai yang berasal dari masyarakat itu sendiri.

Sebelum lebih jauh mengarah pada, apakah dalam menangani perilaku ujaran kebencian harus melalui pendekatan secara pidana atau tidak, maka kita harus menjawab terlebih dahulu apakah ujaran kebencian merupakan suatu kejahatan yakni suatu tindak pidana atau tidak?

Maka mari kita melihat unsur-unsurnya terlebih dahulu, kunci utama dari ujaran kebencian sebagaimana dimaksud dalam UU ITE sebenarnya mengacu pada pasal 156 KUHP. Dalam produk hukum yang dimaksudkan pada pasal 156 KUHP, yakni tindakan yang dianggap sebagai tindakan yang dapat menimbulkan rasa kebencian, permusuhan, penghinaan terhadap suatu golongan, memprovokasi, penistaan, dan pencemaran nama baik.

Kemudian dengan melihat beberapa unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana seperti:

  1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
  2. Adanyaa maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

Maka jika kita melihat lebih jauh bagaimana unsur yang ada, apakah ujaran kebencian ini kemudian didasarkan atas kesengajaan atau tidak, dengan maksud dan tujuan seperti menimbulkan permusuhan, mencemarkan nama baik martabat dan kehormatan, penghinaan dan penistaan terhadap suatu golongan, maka dilihat dari unsurnya ujaran kebencian sudah terpenuhi sebagai suatu tindak pidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun