Mohon tunggu...
Lidya Fitrian
Lidya Fitrian Mohon Tunggu... Blogger

Blogger | Content Writer www.fitrian.net

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Macet Berjam-jam, Tapi Kok Tetap Kangen Mudik?

27 Maret 2025   12:20 Diperbarui: 27 Maret 2025   12:20 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu tradisi yang selalu dinantikan oleh masyarakat Indonesia setiap tahunnya: mudik. Tak peduli seberapa jauh jarak yang harus ditempuh atau seberapa macet perjalanan yang harus dilalui, keinginan untuk pulang ke kampung halaman tetap tak terbendung. Tahun ini, setelah tiga tahun terakhir lebih memilih mudik dengan kereta api, akhirnya saya kembali memutuskan untuk menggunakan kendaraan pribadi. Sebuah keputusan yang penuh pertimbangan, mengingat trauma macet yang luar biasa di tahun-tahun sebelumnya. Namun, kerinduan akan perjalanan darat yang lebih fleksibel dan efisien dari segi biaya mengalahkan segala kekhawatiran.

Perjalanan Pergi yang Lancar, Arus Balik yang Melelahkan

Berangkat dari Jakarta menuju Semarang, perjalanan kami relatif lancar. Jalanan masih cukup lengang karena kami berangkat lebih awal dari puncak arus mudik. Namun, seperti yang sudah diduga, arus balik menjadi cerita yang berbeda. Jalanan yang sudah diberlakukan one-way dari Jawa Tengah menuju Cikampek tetap saja penuh sesak. Ribuan kendaraan berlomba untuk bisa sampai di rumah masing-masing secepat mungkin, menciptakan lautan mobil yang bergerak pelan tanpa kepastian kapan bisa sampai ke tujuan.

Meskipun menyetir kendaraan secara bergantian dengan anggota keluarga, rasa lelah tetap saja tak terhindarkan. Ditambah lagi, tidak ada kesempatan untuk beristirahat dengan nyaman karena rest area penuh sesak. Bahkan, beberapa sudah ditutup karena antrean kendaraan yang mengular jauh sebelum pintu masuk. Rasanya ingin menangis di perjalanan, terlebih saat ingin ke rest room tetapi tidak ada tempat untuk berhenti.

Untungnya, kami sudah mengantisipasi dengan membawa cukup bekal makanan dan minuman di dalam mobil. Begitu pula dengan BBM yang tetap terjaga sehingga tidak perlu antre di SPBU yang juga dipenuhi pemudik lainnya. Namun tetap saja, kondisi ini membuat perjalanan pulang menjadi jauh lebih melelahkan dibandingkan perjalanan pergi.

Mudik Sebelum Lebaran untuk Mengenang Orang Tua

Tahun ini, mudik kami terasa berbeda. Kami pulang ke Semarang bukan untuk merayakan Lebaran, melainkan untuk memperingati dua tahun kepergian orang tua. Tidak ada lagi sosok yang menyambut kami di rumah seperti dulu, tetapi kami tetap ingin pulang, mengunjungi makam mereka, dan mengenang kebersamaan yang pernah ada. Meski suasana di rumah terasa berbeda, ada ketenangan tersendiri dalam perjalanan ini.

Mudik sebenarnya bukan hanya soal Lebaran. Esensi utamanya adalah silaturahmi dan mengenang akar keluarga, dan itu bisa dilakukan kapan saja. Jadi, kami pun berjanji pada diri sendiri: jika tahun depan ingin mudik lagi, sebaiknya memilih moda transportasi yang lebih nyaman seperti kereta atau pesawat. Kekurangannya, tentu saja, biaya perjalanan yang jauh lebih besar dibandingkan membawa kendaraan pribadi. Sebagai keluarga yang berempat, bepergian dengan kendaraan sendiri memang lebih hemat hingga 50% dari segi transportasi. Namun, apakah harga lebih murah sepadan dengan rasa lelah dan stres di perjalanan?

Mudik yang Lebih Produktif: Membuat Konten Ramadan Bercerita

Mudik kali ini juga terasa lebih produktif. Saya menyempatkan diri untuk membuat konten untuk program Ramadan Bercerita dari Kompasiana. Salah satu destinasi yang saya kunjungi adalah Pasar Pecinan Semarang. Di sana, saya melakukan reportase terkini tentang suasana pasar menjelang Lebaran. Selain menulis artikel, saya juga mengambil foto dan video untuk mengabadikan momen di tengah kesibukan para pedagang dan pembeli. Rasanya menyenangkan bisa menggabungkan perjalanan mudik dengan aktivitas yang bermanfaat dan berbagi cerita dengan lebih banyak orang.

Suka Duka yang Tak Pernah Menyurutkan Niat Mudik

Terlepas dari segala tantangan, satu hal yang pasti: orang Indonesia, termasuk saya, tidak pernah jera untuk mudik. Ada rasa rindu yang selalu memanggil untuk kembali ke kampung halaman, ada kenangan masa kecil yang membuat perjalanan jauh terasa berarti. Tak peduli macet, lelah, atau tantangan lainnya, mudik tetap menjadi momen yang dinantikan.

Momen ini juga menjadi pengingat bahwa kebersamaan dengan keluarga adalah hal yang tak ternilai harganya. Mungkin di tahun-tahun mendatang, kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk pulang ke rumah orang tua karena mereka telah tiada. Mungkin suatu hari nanti, kita yang akan menjadi rumah bagi anak-anak yang pulang mudik. Dan saat itu tiba, kita akan merindukan masa-masa seperti sekarang.

Jadi, bagaimanapun cerita mudik kalian, nikmati setiap momennya. Jadikan perjalanan ini sebagai pelajaran dan kenangan yang tidak terlupakan. Karena pada akhirnya, mudik bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan hati yang membawa kita kembali ke akar dan jati diri.

Inilah cerita mudik saya, bagaimana dengan cerita mudikmu?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun