"Tak semua yang kuat itu tak terluka. Kadang, justru yang paling diam, paling dalam lukanya."
Sunyi di Balik Bahu yang Kuat
Di mata dunia, lelaki adalah lambang kekuatan. Ia harus tegap, tahan banting, selalu siap memimpin dan melindungi. Ia adalah kepala keluarga, tulang punggung, penopang harapan. Tapi tak banyak yang tahu, bahwa di balik langkah mantapnya, ada beban yang menggulung jiwanya pelan-pelan.
Ia mungkin tak menangis di hadapan siapa pun, tapi itu bukan karena hatinya tak retak. Ia hanya tak tahu lagi ke mana air matanya harus pergi.
Seperti jembatan yang kokoh, pundaknya dilalui ribuan beban. Namun tak seorang pun benar-benar bertanya: apakah pondasi dalam dirinya masih kuat? Ataukah mulai retak diam-diam?
Lelaki dan Lelah yang Tak Pernah Dianggap Luar Biasa
Dari tukang bangunan, sopir truk, nelayan hingga juru masak---lelaki terbiasa hidup dalam peluh dan beban fisik. Keringat adalah persembahan sunyi yang ia berikan tiap hari untuk keluarganya. Ia berdiri, bekerja, bertahan.
Ketika tubuhnya mulai memberi tanda---tulang ngilu, dada sesak, pinggang nyeri---ia hanya bilang, "Tidak apa-apa," lalu kembali mengangkat hari yang berat. Ia tahu: dunia tak memberi izin untuk tumbang. Ia harus kuat, meski sebenarnya sudah remuk.
Dalam diam, ia menelan obat. Dalam gelap, ia mengurut luka. Tapi di siang hari, ia tetap tersenyum, agar semua percaya bahwa segalanya baik-baik saja. Padahal, tak ada yang benar-benar baik di dalam dirinya.
Beban yang Tak Tertulis: Harus Selalu Benar, Harus Selalu Tegar
Di mata anak, ia harus jadi pahlawan. Di mata istri, ia harus jadi pelindung. Di mata orang tua, ia harus jadi harapan. Ia tumbuh dengan pesan sunyi: jangan salah, jangan ragu, jangan lemah.
Kesalahan berarti kegagalan. Rasa takut dianggap kelemahan. Maka ia bungkam semua rasa, menyimpan semua kegelisahan. Di malam yang sepi, ia mungkin duduk di pojok kamar, menatap langit-langit, dan bertanya dalam hati:
"Apakah aku cukup? Apakah semua ini salahku?"
Namun esok pagi, ia kembali bangkit. Karena tak ada waktu untuk luka.
Diukur dari Apa yang Bisa Diberi, Bukan dari Apa yang Ia Rasakan
Masyarakat menakar lelaki dari apa yang ia hasilkan---penghasilan, rumah, kendaraan, kemapanan. Tak peduli seberapa keras ia berjuang, jika tak tampak hasilnya, maka ia dianggap gagal.
Ia menunda mimpinya demi impian orang lain. Ia membungkam keinginannya demi kebutuhan rumah tangga. Ia memotong keperluan pribadinya agar anak bisa sekolah, agar istrinya bisa bahagia. Tapi ketika penghasilannya menurun, tudingan datang lebih dulu daripada pelukan.
Tak ada yang tahu, betapa ia telah berdarah hanya untuk tetap berdiri.
Beban Batin: Karena Lelaki Tak Punya Tempat Aman untuk Menangis
Lelaki sering kali bukan tak mau bercerita---ia hanya tak tahu kepada siapa. Ketika ia bicara, ia ditertawakan. Ketika ia rapuh, ia dicibir. Maka ia belajar untuk diam. Menyimpan luka di dada. Menangis dalam hati.
Ia bisa tampak tenang, tapi di dalamnya badai tak henti. Ia bisa terlihat kuat, padahal sedang hancur perlahan. Ia bisa jadi suami yang baik, ayah yang hadir, tapi siapa yang hadir untuk dirinya?
Ia rindu didengar. Rindu dipeluk tanpa harus menjelaskan segalanya. Tapi rindu itu hanya ia titipkan pada malam.
Menjadi Rasa Aman, Meski Tak Lagi Nyaman dengan Dirinya Sendiri
Lelaki harus jadi bahu tempat bersandar. Harus tenang saat yang lain gelisah. Harus tersenyum saat semuanya menangis. Ia memberi rasa aman, meski dirinya sendiri tak tahu kepada siapa ia bisa merasa aman.
Tatkala hidup tak berpihak, ia tetap berdiri. Ketika gagal, ia menampung pedih dalam dada. Ketika cemas, ia menyelipkannya dalam lelucon. Depresi pun dibungkus dalam kalimat sederhana: "Capek, tidur dulu."
Ironisnya, dunia justru bangga pada ketegarannya. Padahal ketegaran itu bisa jadi hanya bentuk lain dari kesepian.
Refleksi: Lelaki Tak Selalu Butuh Solusi, Kadang Hanya Butuh Dimengerti
Lelaki tak selalu ingin disuruh bangkit. Kadang ia hanya ingin diizinkan duduk. Ia ingin dicintai meski tak sedang berjaya. Ia ingin dipahami tanpa harus menjelaskan.
Jika kau punya ayah, suami, anak laki-laki, saudara, atau sahabat---dengarkan mereka. Bukan untuk memperbaiki, tapi untuk menemani. Kadang cukup dengan bertanya, "Apa yang bisa kubantu?" atau hanya dengan berkata, "Aku ada di sini."
Lelaki juga manusia. Ia bisa lelah. Bisa ragu. Bisa gagal. Dan itu bukan dosa.
Penutup: Di Balik Diamnya, Ada Jiwa yang Berteriak Minta Dipahami
Tak semua yang tersenyum itu bahagia. Tak semua yang diam itu baik-baik saja. Lelaki yang kau kenal mungkin sedang berperang dalam dirinya sendiri, dan hanya butuh satu hal: pengakuan bahwa ia juga berharga, bahkan ketika tak sempurna.
Tak semua luka berdarah. Tak semua yang tersenyum itu bahagia. Lelaki yang terlihat baik-baik saja, bisa jadi sedang berjuang untuk tidak runtuh. Ia tidak meminta banyak. Hanya ingin tahu bahwa ia tidak sendiri.
Jika kau membaca ini, dan kau seorang lelaki, ketahuilah: kamu cukup. Kamu sudah berjuang dengan luar biasa. Dan meski tak ada yang tahu, Tuhan tahu. Dan itu cukup untukmu terus bertahan.
Jika kamu bukan lelaki, tapi mencintai satu di antaranya, jangan biarkan ia menanggung semuanya sendiri. Jadilah tempat pulangnya. Jadilah suara yang berkata: "Kau tak harus kuat setiap saat. Aku di sini untukmu."
Akhirnya....
Lelaki juga manusia: bisa lelah, bisa takut, bisa gagal. Ia telah lama menundukkan gemuruh demi orang lain; kini sudah waktunya kita berdiri di sampingnya, bukan sekadar menonton dari jauh.
Jika kamu seorang lelaki dan membaca ini---ketahuilah: kamu cukup. Kamu tak harus kuat setiap waktu. Dan kamu tidak sendiri. Tuhan tahu semua yang kamu simpan sendiri. Dan itu cukup.
Jika kamu mencintai seorang lelaki---peluklah ia. Tatap matanya dan katakan:
"Kau tak harus memikul semuanya sendiri. Aku di sini, bersamamu."
 " Pernahkah kau peluk ayahmu, suamimu, atau anakmu hanya untuk berkata: 'Terima kasih telah kuat dalam diammu'?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI