Kahlil Gibran merupakan seorang penyair yang belum pernah menikah. Ia belum pernah mengalami fase pernikahan, namun berbicara tentang pernikahan. Artinya, puisi “On Marriage” ini merupakan puisi yang berbicara tentang pernikahan melalui sudut pandang seseorang yang belum pernah mengalami fase pernikahan. Lalu, bagaimana Kahlil Gibran dapat menggambarkan “pernikahan” dalam puisinya? Kahlil Gibran adalah sosok penyair dengan gaya romantis-simbiolis, kata “cinta” sudah tidak asing baginya. Meskipun ia belum pernah mengalami fase pernikahan, imajinasinya tentang “cinta” sudah terbangun.
Puisi “On Marriage” berawal dari seorang tokoh bernama “Almitra” yang bertanya kepada seorang Nabi. Jawaban pertama yang diberikan oleh Nabi itu adalah “Kalian telah diciptakan berpasangan. Dan selamanya kalian akan berpasangan”. Baris pertama pada puisi ini menyatakan bahwa pasangan yang telah menikah memang ditakdirkan untuk berpasangan selamanya. Artinya, mereka akan lahir menjadi sesuatu yang baru untuk hidup bersama selamanya. Lalu, sebagai seorang pasangan, mereka harus saling menjaga dalam suka maupun duka, hingga maut memisahkan. Seperti yang disampaikan pada baris kedua puisi ini,
“Bersamalah… Sampai Sang Maut memisahkan nyawa dari raga”.
Artinya, tidak ada yang dapat memisahkan sebuah pasangan, selain maut itu sendiri. Baris ini berkaitan erat dengan baris pertama, dimana sebuah pasangan ditakdirkan untuk berpasangan selamanya. Kata “Sang Maut” yang dipilih oleh penerjemah cukup menarik untuk melambangkan sebuah kematian dengan tidak terang-terangan.
Pada baris tiga dan empat,
“Bersamalah… namun biarkanlah ada ruang di antara kebersamaan itu. Tempat angin surga menari-nari di antara kalian.”
Menunjukkan bahwa ada kebebasan dalam keterikatan. Hal ini ditegaskan pula pada bait kedua,
“Berkasih-kasihlah, namun jangan membelenggu cinta. Biarkanlah cinta itu bergerak senantiasa. Seperti aliran sungai yang mengalir lincah.”
Meskipun pernikahan adalah sesuatu yang mengikat dua orang, pernikahan tidak mengikat cinta. Cinta tetap mengalir bebas seperti aliran sungai yang bergerak lincah di antara dua hati dan dua jiwa yang telah terikat. Hal itu memberikan gagasan bahwa cinta memungkinkan kebebasan dan suatu pasangan membutuhkannya untuk berkembang. Pemilihan kata “angin” dalam baris ini sangat menarik karena menyimbolkan kebebasan yang mutlak. Dimana “angin” dapat bergerak bebas kemanapun yang mereka inginkan. Sedangkan, pemilihan kata “surga” pada bait kelima ini sangat istimewa karena semakin menegaskan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang mengikat dan sangat indah, namun tak mengikat cinta yang seharusnya bebas mengalir seperti aliran sungai yang lincah. Lalu, kata “sea” dalam bait kedua puisi aslinya, selain menunjukkan kebebasan yang mengalir, juga menunjukkan betapa luasnya cinta itu. Dapat dibilang, “laut” itu tidak ada batasnya, sehingga menggambarkan kebebasan yang sangat luas.
“Isilah cawan-cawan cintamu. Tapi jangan saling minum dari satu cawan. Saling berbagilah. Tapi jangan makan dari pinggan yang sama.”
Melalui metafora makanan dan minuman, Nabi tersebut menjelaskan mengapa ruang dalam kebersamaan harus dijaga. Dalam sebuah pernikahan, cinta itu ibaratkan sebuah makanan dan minuman kudus yang diberikan satu sama lain. Oleh karena itu, cangkir dan roti harus tetap terpisah. Satu minuman atau roti harus dibagi menjadi dua, sedangkan memberi ukuran penuh satu sama lain adalah pertukaran cinta yang membuat setiap orang kenyang dan puas. Begitu pula dengan kegembiraan. Kegembiraan dihasilkan sendiri dan terpisah lalu dibagikan satu sama lain, sehingga kegembiraan tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dan dapat dinikmati bersama-sama. Artinya, kegembiraan yang dialami oleh seorang dalam sebuah pasangan adalah kegembiraan bersama dari sebuah pasangan pula.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!