Mohon tunggu...
Ahmad Rusdian
Ahmad Rusdian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Memulai Langkah Terakhir #3

4 Desember 2015   08:46 Diperbarui: 4 Desember 2015   08:54 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hujan semakin reda, matahari pun mulai muncul pelahan...

seolah dia tak sabar menghangatkan bumi meski hanya waktu sekejap, yah seharian ini matahari seolah meghilang, awan mendung seolah merupakan baju baru bagi langit. dia enggan melepasya, seharian memakainya. tap sore ini, langit tampak biru cerah meski sisa air hujan masih turun. matahari mula terasa hangatnya meski tak lama lagi ia harus meninggalkan hari ini.

Aku masih berdiri terpaku didepan gubuk sederhana ini, aku hanya bisa diam. 

Aku mencoba menatap kembali seluruh tempat ini, Gundukan sampah yang semakin menggunung ini telh menjadi duniaku selama aku hidup, aku besar disini, memulai hidup disini, hampir tak pernah aku pergi keluar, paling hanya untuk menjual hasil "pulunganku" saja, itupun hanya didepan sana, di tempat Juragan Bisri, atau membeli keperluan sehari-hari itupun juga hanya di toko Bu Minah, samping Juragan Bisri. 

Ya, selama ini memang tak banyak yang kuperlukan, sehari hari aku hanya memulung, menukarnya dengan makanan, minuman, baju bekas atau beberapa batang rokok, ya itulah dunia ku selama ini. tak pernah terbayangkan bagaimana aku bisa hidup seperti itu selama ini, tapi lebih tak terbayangkan untuk meninggalkan kehidupan yang selama ini kujalani. 

aku masih terdiam menghayal tentang semua masa lalu. hidupku memang hanya disini, terbatas disini, sehingga hanya tempat ini yang bisa kuhayalkan, tetapi semua lamunan itu sontak buyar saat suara lembut memanggilku,


"semua sudah siap langit, apakah hanya ini yang perlu dibawa?". tanya gadis putih berambut coklat itu. gadis itu, Kamelia, Gadis misterius yang kutemui dengan cara misterius dan memperlakukanku lebih misterius. tak pernah selama ini ada orang yang bersikap sangat baik, lembut dan ramah kepadaku. apalagi yang baru saja kenal. kehidupan disini kasar, kami saling memanggil dengan cara kasar, kami bercanda dengan cara kasar, kami bertengkar dengan kasar, bahkan pujian terasa paling kasar. tetapi inilah kehidupan kasar itu. baru kali ini namaku dipanggil begitu lembut, sungguh terasa aneh ditelingaku. 

"Semua sudah siap, adalagi yang perlu kita bawa?". ulang gadis bermata biru itu. 

"tidak, hanya itu yang ku punya. ditambah 2 baju bekas wanita yang ku beli dari bu minah, satu sudah kau pakai, jadi ya, sudah. cuma itu".

gadis itu tersenyum, hanya senyum. dia terlihat heran tetapi tidak ada wajah menghina sama sekali. hanya senyum heran. 

"kita berangkat. hujan sudah reda". kataku.

dia tak menjawab. 

"Tak banyak yang kukenal di ibu kota ini, tetapi dari teman pemulung aku mengenal Lukman. Orang Jawa. Supir Truknya Pak Bisri". tambahku, 

"kita akan menumpang dia, kebetulan dia akan mengantar besi tua ke madura. jadi kita bisa menumpang". lanjutku.

meski dia hanya diam, karena memang dia tak punya ide sama sekali, satu-satunya ide yang dia punya adalah pulang ke daerah asalnya, "Nganjuk" nama daerahnya. katanya sih di jawa timur. tetapi info lebih aku tak tau. hanya itu yang dia katakan. 

menumpang Lukman adalah ideku, dia sebenarnya mau pulang sendiri, tetapi setelah kejadian aku menemukannya, entah kenapa aku merasa bertanggung jawab terhadapnya, termasuk saat ini aku merasa harus mengantarnya pulang. 

setelah ini apa lagi? entahlah, Simpanan Besi Tua telah Ku lelang Habis untuk merayu Lukman agar aku boleh menumpang. Gubuk dan peralatan seadanya Ku tukar dengan beberapa rupiah untuk biaya perjalanan. setelah sampai ke tujuan, Kamelia pulang, lalu aku? entahlah. belum terfikir. tetapi saat ini hanya itu yang seolah harus kulakukan. 

kami berjalan makin cepat menuju tepi lautan sampah ini, menuju tempat parkir truk lukman, sudah telat dari jam yang kami sepakati, tapi memang hujan baru reda. 

aku mempercepat langkah kaki sambil menengok mata kamelia, gadis manis itu tersenyum, sambil sedikit berlari dia memegang erat tangan kiriku, sangat erat. 

entah kenapa sore ini terasa lebih indah, Langit Biru dengan sisa hujan, Mentari di ufuk barat masih terasa hangatnya, serta menggenggam tangan mungil ini, sungguh seperti melihat pelangi.

Indah, Damai, tenang.

perasaan itu sementara menyingkirkan keraguan, ketakutan bahkan kebingungan,

sementara Truk Lukman Mulai menderu meninggalkan Jakarta. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun