ARINI
"Nggak bisa! Cewek nggak boleh gabung di klub basket kita." Terdengar suara lantang dari ruangan basket membuat diri ini terkesiap.
Siapa itu? Apa kapten tim? Siapa namanya? Gue lupa.
"Lo hati-hati, Rin. Kapten tim basket itu 'kan songong banget. Udah gitu anti lihatin cewek kayak kita." Kalimat yang dilontarkan oleh Lova tadi siang kembali berputar di pikiran.
'Cewek kayak kita' di sini maksudnya yang cantiknya di bawah rata-rata dan nggak penting.
"Tapi gue cuma pengin latihan aja. Nggak mungkin masuk tim intilah," tanggap gue.
"Gue kenal banget siapa Brandon, Rin. Dari SMP anaknya belagu banget. Sok kegantengan dan perfectionist. Dulu pernah ada anak cewek yang mau ikut latihan basket, tapi akhirnya dikeluarin karena ketahuan modus buat deketin dia," papar Lova lagi.
Gue kembali merapatkan terlihat di pintu masuk ruangan, agar bisa mendengarkan percakapan lebih lanjut antara Pembina dan cowok yang diduga bernama Brandon itu.
"Dia hanya latihan, Brandon. Bapak juga sudah tes dan memang permainannya oke. Bisa bantu anggota kita untuk latihan juga, jika ada yang sakit." Kali ini terdengar suara Pak Bambang, pembina klub basket SMA tempat gue sekolah.
"Nggak bisa, Pak! Sejak awal setuju jadi kapten klub, saya udah bilang nggak ada cewek kecuali cheerleaders di klub ini!" tegasnya membuat mata ini menegang.
Fix, cowok yang lagi ngomong sama Pembina adalah Brandon. Belagu bener nih anak, mentang-mentang orang tuanya donatur tetap di sekolah ini, jadi seenak jidatnya ngomong kayak gitu sama Pak Bambang. Nggak diajarin sopan santun sama orang tuanya? Huh!