Saat ini kemana pertunjukan calung dan reog itu, pertunjukan degung, seni tayub dan lainnya? Ah, semuanya hanyalah kenangan, pertunjukan itu telah tergantikan oleh hiburan dangdut dengan goyangan erotis.
Para muda mudi berjoged terbuai dengan alunan lagunya yang vulgar itu, bahkan tak jarang ku lihat tangan kirinya memegang leher botol minuman keras, dengan sebatang rokok di tangan kanannya. Lihat, bapak-bapak setengah baya hingga menjelang tua itu, bergantian menaiki panggung sambil menyelipkan uang lembaran sepuluh hingga ratusan ribu di belahan dada sang biduanita.
Ah, aku benar-benar sedih dan terpukul, ku elus dada ini berkali-kali. Lantas kemana nilai-nilai kearifan itu? kemana nilai-nilai moral dan kepribadian yang adiluhung itu? Bahkan mereka tak berfikir bahwa anak istrinya di rumah menjerit karena beras di gentong telah habis! Bumbu dapur dan lauk pauk tak tersedia lagi! Dan anak-anaknya terpaksa tak menerima buku rapor karena belum lunas uang SPP! Inikah kemajuan itu yang mereka terjemahkan dalam ketiadaan benteng diri?
Suatu kali aku berkunjung ke rumah kang Momon tempat sanggar seni tradisional yang sempat populer di desaku saat itu. Kini, tak ada lagi gamelan, hanyalah tersisa sepasang gong dipojok ruangan ini. Semuanya telah jadi barang rongsokan tak berharga!
"Kamana gamelan-gamalen wayang golek anu kapungkur teh, kang?" (Kemana gamelan-gamelan wayang yang dulu  itu)?, aku penasaran bertanya.
"Gamelan-gamelan teh tos akang ical, jang! Ti ngawit seueur hiburan jaipong dangdut sareng orgen tunggal, tos teu aya deui urang kampung anu nganggap wayang golek akang" (Gamelan-gamelan itu, sudah akang jual. Sejak mulai merebaknya hiburan jaipong dangdut dan orgen tunggal itu, tak ada lagi orang kampung yang sewa hiburan wayang golek), Â jelas kang Momon haru.
Aku terpukul mendengarnya. Betapa tidak, sanggar ini dulu menjadi kebanggaanku. Aku banyak belajar di sanggar ini. Bahkan itu yang memotivasiku untuk mengajak temen-temen kuliahku dulu di Semarang bergabung dalam membesarkan Sanggar Degung "Putra Sangkala" milik Kang Deni.
Lihat, di perempatan jalan itu, di depan swalayan mini itu, pasangan muda mudi bercengkrama. Aku melihat betapa gadis-gadis itu mempertontonkan busana seronok. Penampilan seksinya seakan meniru penampilan wanita-wanita kota tak tahu diri itu! Aku bahkan melihatnya sebagai penampilan yang norak.
Astagfirullah, budaya asing itu, yang ditampilkan sepanjang waktu di acara-acara televisi, telah nyata-nyata merubah prilaku kultur generasi muda di desaku.
Bahkan karena sinetron-sinetron tak mendidik itu, telah menyihir dan mencuci otak para ibu-ibu hingga lupa waktu untuk menyiapkan sarapan dan makan malam suaminya, lupa waktu menyiapkan baju sekolah dan mengajari anaknya tiap malam menjelang, lupa waktu untuk pengajian rutin bersama yang dulu setiap sore di surau selalu dipenuhi dengan jamaan ibu-ibu hanya untuk mendengar ajaran moral dari kang Ahmid salah satu ustadz kenamaan di desa kami.
Dan ada fakta yang mengagetkanku, bahwa semenjak merebaknya telepon seluler dengan beragam fasilitas itu, ternyata tingkat perselingkuhan di desaku semakin meningkat.