Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Globalisasi Itu Telah Renggut Keperawanan Desaku

17 Mei 2018   05:17 Diperbarui: 17 Mei 2018   05:16 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ku lihat para petani cabai itu harus rela naik turun bukit dengan memikul jrigen berisi air, karena harus bersusah payah mencari sumber air yang tak tentu didapat itu.

Kenapa ini bisa terjadi? apa yang berubah dengan masyarakat di desaku? Kenapa pohon-pohon besar yang menahun itu ditebang begitu saja tanpa ada kompensasi penanaman kembali?. Aku lihat dulu di kebun-kebun itu masih berderet hamparan pohon-pohon keras sumber serapan air, saat ini tergantikan oleh kebun-kebun kelapa sawit.

Aku sempat bertanya kepada Uwak Maman, dan ternyata bahwa ladang-ladang dan kebun-kebun mereka yang tak punya modal itu telah disewakan pada tuan-tuan tanah untuk dikonversi menjadi kebun kelapa sawit yang rakus air itu.

****

 

Sungguh, aku merindukan masa lalu itu, masa dimana masyarakat desaku masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal perlambang hubungan harmoni antara alam dengan manusia.

Dulu kami bahkan takut dengan istilah "pamali", sebuah hukum tak tertulis yang bahkan masyarakat tak berani melanggarnya, apalagi dengan sengaja merusak alam. Kami masyarakat desa ini percaya bahwa alam suatu saat akan murka.

Aku bahkan akrab dengan kearifan lokal itu, perayaan sedekah kupat di setiap perbatasan desa, perayaan sedekah bumi setiap setelah panen raya di kebun, sawah dan ladang kami. Mungkin sebagian besar bahkan menganggap ini sebagai hal tabu dan berbau syirik!.  Padahal agama apapun mengajarkan kita tentang hubungan harmoni antara manusia dengan alam seisinya.

Kami orang-orang desa menjadikan perayaan tersebut sebagai ajang mempererat tali persaudaraan, perayaan tersebut memiliki makna filosofi yang teramat dalam tentang bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat dan generasi yang akan datang tentang arti penting menjaga keselarasan dengan alam, dan hal ini selalu terimplementasi dalam laku keseharian masyarakat di desa kami.

Kini kearifan lokal itu lambat laut hilang, jikapun ada perayaan sejenis, pada kenyataannya kosong tak bermakna, nilai-nilai itu hanyalah raga tanpa ruh!. Padahal, bukankah semestinya kearifan lokal itu dijadikan dasar sebagai acuan bagi hukum positif yang ada di negeri ini?

Saat ini aku bahkan tak pernah mendengar dan melihat lagi pertunjukan kesenian tradisional lambang budaya dan jati diri kami. Dulu aku selalu menyempatkan menonton pertunjukan wayang golek hingga semalam suntuk. Pertunjukan yang penuh makna karena menyiratkan pesan moral tetang nilai-nilai kejujuran, kebersamaan, jiwa kesatria dan nilai moral keagaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun