Lebih penting lagi, keluarga perlu memberikan penguatan emosional, bahwa anak tidak perlu jadi orang lain untuk dihargai. Validasi terbaik adalah yang datang dari dalam diri, bukan dari “likes” dan “followers.”
Flexing di media sosial adalah fenomena yang nyata dan tidak bisa diabaikan tapi kita bisa memilih untuk ikut terjebak dalam pusaran gaya hidup semu atau melawan dengan membangun makna hidup yang lebih jujur dan membumi.
Sosiolog Zygmunt Bauman pernah berkata bahwa kita hidup dalam masyarakat cair, di mana identitas mudah dibentuk, tetapi juga mudah hilang. Kita terobsesi dengan tampilan luar karena merasa bahwa tampilanlah yang menentukan tempat kita dalam masyarakat. Ini bukan hanya soal media sosial, tapi soal krisis makna.
Kita semua—pendidik, orang tua, teman, pemimpin opini—punya peran dalam menyuarakan bahwa hidup bukan perlombaan pencitraan. Bahwa hidup bisa berarti meski tidak glamor. Bahwa kesederhanaan adalah bentuk elegan dari kepercayaan diri.
Fenomena flexing tidak akan hilang dalam semalam tapi kita bisa mulai dari hal kecil, menjadi pribadi yang sadar, kritis, dan bijak dalam menggunakan media sosial.
Yang paling penting jangan takut terlihat sederhana. Di tengah dunia yang penuh pencitraan, menjadi jujur dan autentik adalah bentuk tindakan yang paling berani.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI