Mohon tunggu...
Laura Zefanya Elizabeth
Laura Zefanya Elizabeth Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

hii!! aku suka baca buku dan tidur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Punya atau Pura-pura? Saat Flexing Jadi Kebutuhan Sosial

1 Juli 2025   12:47 Diperbarui: 1 Juli 2025   12:47 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sempat dihebohkan oleh beberapa kasus flexing yang viral. Misalnya, seorang anak pejabat pajak yang memamerkan motor gede, jam tangan mewah, hingga gaya hidup hedon di media sosial. Saat ditelusuri, gaya hidup tersebut ternyata tidak sebanding dengan penghasilan sang ayah yang merupakan pejabat negara. Alhasil, publik murka dan kasus ini memicu audit besar-besaran. 

Kasus serupa juga menimpa sejumlah selebgram dan TikToker. Ada yang memamerkan isi saldo ATM, pesta mewah, bahkan mengunggah belanjaan jutaan rupiah hanya untuk kebutuhan konten. Tak sedikit pula yang akhirnya terbukti menggunakan uang hasil pinjaman online, endorse ilegal, atau bahkan penipuan. 

Fenomena ini menunjukkan satu hal, yaitu banyak orang rela melakukan apa saja demi terlihat kaya dan sukses di media sosial. Bahkan, beberapa kasus berujung pada kehancuran reputasi, depresi, atau tekanan sosial yang luar biasa besar. 

Flexing bukan hanya menimbulkan keresahan sosial, tapi juga berbahaya bagi kesehatan mental generasi muda. Banyak remaja dan anak muda yang merasa tertinggal, rendah diri, atau tidak cukup “berharga” karena tidak bisa hidup seperti yang mereka lihat di TikTok atau Instagram. 

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, kasus gangguan kecemasan dan depresi pada remaja meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir, dan media sosial jadi salah satu pemicunya. Ketika hidup terus dibandingkan dengan standar semu yang dibangun oleh orang lain, muncullah tekanan sosial yang berat. 

Banyak dari mereka akhirnya terjebak dalam gaya hidup konsumtif, bukan karena kebutuhan, tapi demi gengsi. Akibatnya? Utang konsumtif meningkat, ketidakpuasan hidup naik, dan rasa percaya diri menurun. Mereka lupa bahwa hidup tidak harus terlihat sempurna untuk menjadi bermakna. 

Pertanyaannya: apa yang bisa dilakukan untuk merespons fenomena ini? Jawabannya: pendidikan. Tapi bukan hanya soal pelajaran di kelas, melainkan pendidikan karakter, literasi media, dan kesadaran sosial. 

Sekolah perlu mulai mengajarkan bahwa harga diri tidak diukur dari brand tas atau mobil yang dipakai, tapi dari nilai yang dibawa: kejujuran, empati, kerja keras. Anak muda harus dibekali kemampuan berpikir kritis agar tidak mudah terbawa arus budaya pamer. 

Pendidikan juga harus mendorong anak muda untuk melek media digital. Tahu bahwa apa yang tampak di media sosial bukanlah kenyataan mutlak. Tahu bahwa validasi sejati tidak datang dari “likes” atau followers, tapi dari kontribusi nyata di dunia nyata. 

Namun, pendidikan karakter tidak hanya tugas sekolah. Keluarga punya peran utama dalam membentuk cara pandang anak terhadap uang, kebahagiaan, dan nilai hidup. 

Orang tua harus menjadi contoh dalam menjalani hidup yang jujur, sederhana, dan penuh tanggung jawab. Jangan sampai anak melihat bahwa kemewahan adalah satu-satunya tolok ukur sukses. Ajak anak berdiskusi soal realita, bukan sekadar ikut arus tren. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun