Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ayah, Ada Balon di Kakiku

18 April 2020   06:39 Diperbarui: 18 April 2020   06:38 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah, Ada Balon Di Kakiku

Panas. Dingin. Suhu badannya memanas, tetapi yang dirasakannya sangat dingin. Silvi terbaring menelentang di ranjang. Merasa aneh dengan tubuhnya.

Tubuh yang membunyikan sinyal pertanda. Pertanda untuk berhenti menyakiti diri. Mungkinkah efek terpapar tetes-tetes hujan? Rasanya tidak. Silvi terbiasa bermain hujan. Dia takkan sakit hanya karena langit menitikkan air mata.

Rasa panas dan dingin yang menjalari sekujur tubuhnya bukan karena kehujanan. Pada saat bersamaan, kakinya berdarah. Pedih menyengat sepasang kaki mungil itu. Benar, ini bukan sakit biasa.

Sekuat tenaga Silvi bangkit dari kasur. Mengapa kakinya susah bergerak? Tiap kali bergerak, sakitnya luar biasa. Diseretnya kaki menuju kamar mandi.

Air dingin mengguyur tubuh bagian atas. Di sini tak ada water heater. Silvi hampir beku rasanya. Jarum jam hampir menyentuh angka enam saat gadis kecil itu selesai mandi.

Azan Maghrib bersahutan, susul-menyusul dari satu masjid ke masjid lainnya. Mushala kecil di ujung kompleks tak mau kalah menyerukan syair Tuhan. Kali ini, Silvi tak kuat lagi. Ia ambruk di tempat tidur. Kakinya amat sakit tiap kali digerakkan.

Pandangannya memburam. Seperti ada jendela dengan lubang kecil terpasang di mata. Jendela kecil itu berulang kali bergetar. Satu-dua kali Silvi menyeka mata, berusaha menjernihkan pandangan.

Tubuh yang dicambuk demam. Kaki sulit bergerak. Dan jendela membingkai pandangan mata. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Tuhan, maafin Silvi." Gumamnya berulang-ulang. Merasa bersalah karena tak bisa berdoa dengan cara normal. Silvi shalat Maghrib sambil duduk.

"Tuhan, sebenarnya Silvi kenapa?"

Usai shalat, anak cantik itu memberanikan diri merunduk menatap kakinya. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Ia hampir pingsan. Torehan-torehan besar nan memanjang di kakinya mengeluarkan darah bercampur nanah. Luka terparah ada di bawah lutut kaki kirinya. Bentuk luka itu seperti balon merah besar: perih, sakit, dan berdarah.

Balon.

Balon merah di kakinya.

Balon merah penuh darah membengkak di kaki Silvi.

Kepala Silvi terkulai ke bantal. Jadi, ini penyebabnya. Silvi sakit gara-gara balon merah itu.

Semua anak menyukai balon. Tapi, tidak ada balon yang membuat anak-anak sakit. Terkecuali balon merah berdarah dan bernanah yang kini membesar di kaki Silvi.

Putri disleksia itu menahan jeritan kagetnya. Ia jatuhkan gaun tidur menutupi kakinya. Jangan, jangan ada yang melihat balon merah itu.

Silvi sendirian di rumah. Tak ada yang bisa didatanginya untuk mengadu. Ayah Calvin dan Bunda Manda pergi berdua.

Pergi? Ya, mereka pergi meninggalkannya. Mereka pergi, Silvi tak diajak. Rasanya sedih sekali.

Menit-menit berlalu lambat. Sunyi merambati penjuru rumah. Silvi masih di posisinya. Terlentang menahan beratnya balon merah berdarah.

Lama, lama sekali Silvi terbiasa melukai diri. Selalu ada kelegaan sehabis menyayat tangan, menusuk kaki dengan kuku jari, mencakar, dan menusukkan paku. Anak itu punya media katarsisnya sendiri.

Tak heran bila sebagian besar baju Silvi berlengan panjang. Selalu saja ia berdalih pada Bunda Manda kalau dia suka baju yang lengannya menutup rapat. Padahal itu semata untuk menutup baret-baret luka.

Tak pernah luka Silvi separah itu sebelumnya. Silvi jarang mengobati luka. Luka-luka itu akan sembuh dengan sendirinya.

Tapi kini...

Torehan besar memanjang bertransformasi menjadi balon. Blon yang memberati kaki Silvi. Membuat pemiliknya hanya bisa berbaring di ranjang.

Dicobanya mengangkat kaki. Sakit, amat sakit. Kaki yang pernah ditertawakan teman-temannya. Saat itu, tak sengaja rok seragam sekolahnya tersingkap sedikit. Mereka melihat kaki Silvi dan mengejeknya. Bahkan salah seorang teman tega membandingkan kaki Silvi yang penuh luka dengan kaki anak lain yang lebih mulus.

Sikap penolakan sebagian besar teman sekolahnya pula menjadi alasan lain Silvi terus melukai diri. Tercabik perasaan tak diterima, gadis kesayangan Bunda Manda itu kian ganas menggurat luka. Luka-luka di tangan dan kakinya bertambah. Dan balon merah berdarah itulah klimaksnya.

Kala mata Silvi hampir terpejam, didengarnya deru mobil. Itu pasti mobil Ayah Calvin. Telinganya sudah hafal deru lembut mobil Ayahnya.

Jika kedua kakinya sehat, Silvi bakal berlari ke pintu depan. Tak bisa dia melakukannya lagi. Alih-alih membukakan pintu, Silvi menangis.

"Ayaaaah...Bundaaaaaaa!" jerit Silvi keras-keras. Teriakannya bercampur tangis.

Derap langkah dua pasang kaki adu cepat. Dalam hitungan detik, Ayah Calvin dan Bunda Manda menghambur masuk ke kamar Silvi.

"Silvi, ada apa, Sayang?" tanya Bunda Manda terengah.

Tak ada jawaban. Terdengar helaan nafas satu-satu. Ayah Calvin mendekat. Ia bungkukkan tubuh hingga wajahnya sejajar dengan seraut wajah mendung kanak-kanak itu.

"Ayah, ada balon di kakiku." Silvi meratap. Melesakkan hidungnya ke dada Ayah Calvin.

Semula Ayah Calvin berspekulasi bila putrinya tengah berimajinasi. Dia sangat memahami anak-anak. Atau bisa saja Silvi baru saja menonton film kartun. Namun, aneh rasanya mendengar anak meratap setelah menonton kartun.

"Balon?" ulang Ayah Calvin tak paham.

Tangis Silvi pecah. Ada yang tak beres. Jari-jari lentik Ayah Calvin meraba tubuh anaknya. Terkesiap merasakan dahi Silvi panas. Tangannya turun perlahan. Mengecek leher, punggung tangan, perut, dan...

"Ya, Tuhan. Manda, lihat."

Bunda Manda memekik tertahan. Dua pasang mata melebar ketakutan mendapati balon besar merah di kaki kiri Silvi.

"Kenapa bisa begini, Nak? Kamu kenapa?" Bunda Manda setengah berteriak.

Pertanyaannya sekarang bukanlah kenapa, tetapi bagaimana. Bagaimana mengobati infeksi? Sudah jelas luka Silvi terinfeksi parah.

Tubuh sintal Bunda Manda merosot ke lantai. Pipinya basah. Dari mana ia mendapatkan uang untuk pengobatan Silvi? Simpanan uangnya habis untuk pesta ulang tahun dan beberapa printilan upacara kematian. Uang untuk pesanan katering beberapa hari ke belakang belum dibayarkan.

"Kaupikir aku tidak menyiapkan apa-apa untukmu dan Silvi? Wait..." ujar Ayah Calvin, merogoh saku jasnya.

Ponsel berlogo apel tergigit dikeluarkan. Dengan wajah tegang, Ayah Calvin menelepon dokter pribadinya. Keberuntungan belum berpihak. Sang dokter pergi selama seminggu untuk simposium.

Tak ada jalan lain. Kedua lengan Ayah Calvin merengkuh Silvi. Menggendongnya ke mobil. Bunda Manda mengekori mereka.

Saat Ayah Calvin hendak membaringkan Silvi di tempat duduk belakang, anak itu memberontak. Dia merapatkan tubuh di dada sang ayah.

"Aku mau Ayah! Aku mau Ayah! Aku mau Ayaaaah!"

Sulit sekali memisahkan Silvi dan Ayah Calvin. Dia meronta ketika pria oriental itu akan menurunkannya. Bagaimana ini? Menyetir mobil sambil memangku anak bukan ide bagus.

"Manda, bisakah kau...?" Penuh harap Ayah Calvin melirik Bunda Manda.

Kode segera ditanggapi. Kunci mobil berpindah tangan. Jadilah sekarang Bunda Manda duduk di bangku pengemudi.

Jok mobil bergetar. Mesin distarter. Bunda Manda mulai menyetir dengan canggung. BMW silver itu berjalan selambat siput menuju jalan raya. Hitungan tahun berlalu sejak terakhir kali alumnus Psikologi UI itu membawa mobil. Terlebih, mobil Ayah Calvin masuk kategori automatic bukannya manual.

Ruas jalan dipadati kendaraan. Bunda Manda berkendara dengan kikuk di tengah ramainya lalu lintas. Begitu gugupnya, tak sengaja ia menghidupkan tombol audioplayer. Lagu mengalun sendu.

Tak bisa ku terima
Kau tinggalkanku
Saat ku butuh kamu
Apa tak kau rasakan
Betapa hancur
Hidupku tanpa kamu

Aku terlanjur ...
Terlalu ...
Bergantung padamu

Jangan pergi
Jangan pergi
Jangan kau pergi
Ku tak ingin sendiri

Ku tak sanggup
Ku tak sanggup
Sungguh tak sanggup
Hidup tanpa cintamu

Kau yang buatku tegar
'Tuk terus bertahan
Jalani hidup ini

Aku terlanjur ...
Terlalu ...
Bergantung padamu

Jangan pergi
Jangan pergi
Jangan kau pergi
Ku tak ingin sendiri
Ku tak sanggup

Ku tak sanggup
Sungguh tak sanggup
Hidup tanpa cintamu

Aku terlanjur ...
Terlalu ...
Bergantung padamu

Jangan pergi
Jangan pergi
Jangan kau pergi
Ku tak ingin sendiri

Ku tak sanggup
Ku tak sanggup
Sungguh tak sanggup
Hidup tanpa cintamu

Ku tak sanggup
Ku tak sanggup
Sungguh tak sanggup
Hidup tanpa cintamu (D'masiv-Jangan Pergi).

Air mata Silvi meleleh. Bukan karena kesakitan, melainkan karena ia takut Ayahnya pergi lagi. Kepalanya yang cantik rebah di pangkuan Ayah Calvin.

"Tahan ya Sayangku...tahan ya. Sebentar lagi kita sampai," ucap Ayah Calvin lembut, lembut sekali.

"Ayah jangan pergi lagi," rintih Silvi.

"Nggak, Sayang. Ayah selalu di sini, temani Silvi."

Beberapa kali mengurus anggota keluarga yang sakit, beberapa kali melihat kematian, tak pernah Ayah Calvin menangis. Ia baru meneteskan air mata malam ini. Air mata seorang ayah jatuh karena balon di kaki sang putri.

Kemacetan parah merintangi mereka di jalan dekat rumah sakit. Polisi berseragam hijau susah payah mengatur kesemrawutan. Kendaraan berlomba membunyikan klakson.

"Manda, rumah sakit tidak jauh lagi. Biar aku yang turun dan membawa Silvi..."

"Jangan, Calvin. Jalanan padat sekali. Bisa berbahaya. Aku takut kamu..."

Kata-katanya menggantung. Terlalu besar harga dirinya untuk mengungkapkan rasa takut kehilangan Ayah Calvin.

Macet tak berujung. Frustasi, Ayah Calvin nekat turun dari mobil. Ia berlari sambil menggendong Silvi. Bunda Manda menutup mata sejenak. Bersandar layu di sandaran kursi.

Lihatlah, Ayah Calvin menampakkan cinta setulus hati untuk Silvi. Pria dengan tinggi dan bobot tubuh ideal itu berlari menembus kemacetan, menghiraukan makian pengguna jalan demi putrinya. Mengapa hingga kini Bunda Manda masih meragu?

Ternyata kaki lebih cepat dari mobil. Ayah Calvin tiba sepuluh menit lebih cepat dari Bunda Manda. Wanita cantik itu baru saja memarkirkan mobil sewaktu Silvi dibawa ke UGD.

Tim dokter terbaik turun tangan. Mereka mengobati Silvi dengan profesional dan cekatan. Demi keluarganya, Ayah Calvin tak kenal budaya antre. Dia membayar mahal untuk pelayanan first class di rumah sakit.

"Untuk sementara, anak Anda bisa dirawat di rumah. Kita lihat perkembangannya. Apakah diperlukan operasi atau tidak." Dokter spesialis kulit menjelaskan. Disambuti raut lega di wajah Ayah Calvin dan Bunda Manda.

Silvi terlelap di pelukan Ayahnya. Obat-obatan sedikit meringankan rasa pedih dan membuatnya tidur. Lembut tangan Ayah Calvin membelai rambut panjang Silvi. Bibirnya ia tidurkan di kening putri semata wayangnya.

"Ayah mencintaimu, Sayang. Dan Ayah tidak akan pernah berhenti mencintaimu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun