"Selamat pagi, Tuan Calvin." Sapa penarik becak itu ramah.
Ayah Calvin tersenyum. Jose ikut tersenyum memandang bapak itu, berharap si bapak berperut besar masih mengingatnya.
"Dan...ah, bukankah kamu yang pernah jatuh dari sepeda, Nak? Apakah kamu ini anak Tuan Calvin? Pantas saja, kalian sama-sama tampan." Si bapak penarik becak melebarkan senyumnya, melontar pujian.
Voila, ternyata dia masih ingat. Hati Jose bernyanyi riang.
Setelah mengobrol sejenak, Ayah Calvin beranjak ke bagasi mobil. Dia keluarkan sekotak besar pizza. Diserahkannya kotak itu ke tangan bapak berperut besar.
"Untuk keluarga di rumah," ujar Ayah Calvin.
Mata si penarik becak berbinar senang. Jose tersentuh melihat binar itu. Sekotak pizza yang bisa didapatnya dengan mudah kapan pun ia mau, begitu dinantikan si bapak baik hati. Bahkan bila Jose over dosis makan pizza sekalipun, Ayahnya takkan kehabisan uang. Bandingkan dengan bapak baik hati itu. Pendapatannya per hari belum tentu cukup untuk menebus seloyang pizza.
"Terima kasih, terima kasih sekali. Anak-anak pasti senang. Semoga kalian berdua sehat dan selamat dunia-akhirat." Bapak berperut besar itu membungkuk penuh haru.
Ketika kembali ke mobil, Jose merenung. Seraut wajah berhias gurat kebahagiaan itu terus terpatri di otaknya.
"Jose anakku..." panggil Ayah Calvin lembut, lembut sekali.
Naluri anak berbakti di dada Jose mulai reaktif. Jika Ayah Calvin sudah memanggilnya begitu, ia akan lemah seketika. Apa pun yang diucapkan sang ayah akan ia turuti tanpa tendensi.