Menghadiahi sepatu, tas, dan gaun sudah biasa. Calvin ingin memberi sesuatu yang lebih spesial. Sesuatu yang memorable, dapat dikenang Silvi sepanjang hidupnya. Sebuah ide melintas di kepalanya.
** Â Â
Aula berlangit-langit biru itu dipenuhi gemuruh tepuk tangan. Belasan wali murid bangga dan terharu. Para pengurus OSIS yang telah dilantik berdiri gagah dengan mengenakan blazer hitam dan lencana. Mulai sekarang, blazer itulah yang membedakan mereka dengan murid lainnya.
Silvi dipeluk hangat oleh Ayahnya. Binar bahagia terpancar di mata biru gadis itu. Akhirnya, setelah empat hari empat malam digembleng fisik dan mental, ia resmi menjadi pengurus OSIS. Jabatan keorganisasian yang telah lama diincarnya sejak masih SMP. Barulah saat SMA Silvi mendapatkannya.
Calvin dan Silvi menjadi pusat perhatian. Anak yang cantik, didampingi ayah yang rupawan. Semua mata tertuju pada mereka. Si kembar Rossa dan Yasmin berbisik-bisik mengagumi ketampanan Calvin.
Acara selesai. Calvin dan Silvi bergandengan tangan menuju mobil. Segala letih, pegal, dan lapar yang dirasakan gadis itu terbayar tunai.
"Selamat, Sayangku. Ayah bangga sekali sama kamu." Calvin berkata dengan ketulusan yang amat nyata.
Bibir Silvi mengguratkan senyum. Ia bergelayut manja di lengan Ayahnya.
"Ayah, Papa tahu nggak?" tanya Silvi.
"Tahu kok. Papa kan sayang sama Silvi."
Mobil Calvin meluncur mulus. Langit sore berselimut awan putih. Mentari menjatuhkan bayangannya di sepanjang jalan beraspal. Silvi heran karena Calvin tidak mengemudi ke arah rumah.