Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Monster Anorexia

5 November 2019   06:00 Diperbarui: 5 November 2019   06:05 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Monster Anorexia

Beberapa hari ini, Rossie lebih pendiam dari biasanya. Perempuan cantik blasteran Indo-Jerman itu kehilangan gairah memasak. Alat-alat masaknya tak tersentuh.

Memudar gairah memasaknya, menghilang senyumnya. Rossie lebih sering menyendiri. Kemurungan menyelimuti parasnya. Ia tak bersemangat melakukan apa pun. Memasak ia enggan. Hangout keluar rumah ia malas. Orderan bunga terbengkalai.

Kini, aktivitas Rossie sangat monoton. Bangun di pagi hari, berdoa sesaat, mandi, mencicipi dua potong roti gandum, dan movie marathon. Ya, Rossie mengikuti jejak Calvin bila hari libur tiba: movie marathon atau series marathon. DVD-DVD memasak, film tentang kuliner, dan buku-buku resep masakannya dia simpan dalam kotak besar berkunci nomor kombinasi. Nampaknya Rossie bertekad menghilangkan semua jejak tentang masak-memasak.

Hampir semua tetangga bersyukur Rossie berhenti memasak. Mereka tidak perlu repot-repot membuang makanan kirimannya. Selamat tinggal masakan tidak enak ala chef gagal Erika Rosiana. Sudah rahasia umum kalau seisi kompleks menganggap masakan Rossie tidak enak.

Satu-satunya yang bersedih hanyalah Adica. Tanpa kenal lelah, dicobanya membangkitkan kembali gairah memasak Rossie. Pria Chinese itu sendiri tidak tahu alasan pasti Rossie berhenti memasak.

"Pagi, Sayang. Kamu nggak masak?" tanya Adica seraya mengecup ringan pipi Rossie.

"Nggak. Ngapain masak kalau rasanya nggak enak?" sahut Rossie dingin. Bahkan, ciuman Adica tak dibalasnya.

Adica menarik napas panjang. Diempaskannya tubuh di samping Rossie. "Enak kok. Aku suka banget masakan kamu."

"Itu karena kamu cinta aku! Kamu nggak denger sih apa kata tetangga kita." Seru Rossie frustrasi.

"Siapa yang bilang nggak enak?"

"Sivia!"

Tangan Adica memijit pelipisnya. Sivia, istri tetangga terbaiknya. Calvin lemah lembut, Sivia sebaliknya.

"Nggak usah dipikirin. Yang penting masakan kamu enak." hibur Adica.

Rossie menggeleng kuat. Matanya basah.

"Cuma kamu yang bilang gitu! Cuma Calvin dan kamu yang selalu abisin masakan aku!"

Wajah Rossie terbenam di bantal sofa. Tak rela istrinya lebih memilih bantal ketimbang dirinya, cepat-cepat Adica menarik tubuh Rossie ke dalam pelukan. Rossie menangis keras-keras seperti anak kecil terkena knalpot. Ingusnya membasahi piyama Adica.

"Ingat apa kata Jose waktu aku kirimin puding? Dia bilang rasanya lebih horor dari film The Conjuring."

"Alah, Hemofilia Ice Prince kayak gitu nggak usah didengerin. Dia memang beda jauh sama istrinya. Heran, tuh orang dua bisa kawin."

Begitu kesalnya, tanpa sadar Adica membanding-bandingkan Jose dengan Alea. Mau tak mau Rossie tertawa melihat ekspresi suaminya.

"Iya ya...Alea cocoknya sama Calvin. Nggak cocok sama Jose." komentarnya.

Adica lega melihat Rossie bisa sedikit tertawa. Kembali dibujuknya sang istri untuk memasak lagi. Rossie berkeras tak mau. Lelah hatinya terus dikomentari negatif oleh para tetangga.

Tanpa kata lagi, Adica menarik tangan Rossie ke dapur. Rupanya ia membeli peralatan masak baru. Wajan, panci, kompor listrik, talenan, pisau, blender, mixer, kitchen set, juicer, dan microwave, semuanya baru. Mata Rossie berbinar antusias. Semua peralatan masak yang dibeli Adica jauh lebih bagus.

"Ini semua kamu yang beliin?" bisiknya tak percaya.

"Iya. Biar istriku masak lagi. Kalau perlu, nanti kita panggil Muttiara buat ajarin kita. Dia kan udah tinggal di sini."

Rossie tertawa riang. "Good idea! Aku mau belajar masak private sama adikku! Kamu ikutan juga ya?"

Adica mengangguk mantap. Sejurus kemudian, Rossie melesat ke lemari es. Diambilnya daging, kentang, wortel, dan beberapa bahan makanan lainnya. Saat ditanya mau bikin apa, Rossie tersenyum misterius.

"Aku bantu ya." tawar Adica.

"Nggak usah. Kamu duduk aja. Tugas kamu adalah cicipin hasil masakan aku."

Pagi ini Rossie tak mau dibantah. Demi menjaga semangat istrinya, Adica menurut. Dia beranjak ke ruang santai.

Chanel TV dipindah-pindahnya dengan gelisah. Dia berdoa dalam hati agar bisa memakan apa pun hasil masakan Rossie. Hanya Tuhan dan Adica yang tahu, kalau sebenarnya hanya Rossielah yang payah dalam urusan memasak. Makanan buatan Adica jauh lebih enak. Hanya saja, selama ini ia berpura-pura tidak bisa memasak demi menyelamatkan muka Rossie.

Tak ada gading yang tak retak. Pepatah itu cukup representatif untuk Rossie dan Chef Mutiara. Tangan Chef Mutiara mahir mengolah semua jenis makanan, mulai dari appetizer sampai dessert. Sedangkan tangan Rossie? Memasak nasi goreng saja terlalu asin.

"Yipeeee...selesai! Nih kamu cobain."

Suara bernada ceria milik Rossie membangunkan Adica dari kenangannya. Ia mengernyitkan dahi melihat sepiring besar kue berwarna kecoklatan yang tak jelas bentuknya. Roti goreng bukan, kroket juga bukan.

"What's that, Dear?"

"Ini namanya...risoles burger! Risoles burger ala Rossie!"

Risoles burger? Apa lagi itu? Adica mencomot sepotong risoles burger.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Adica susah payah menelannya. Sausnya terlalu pedas, kulit luarnya pecah hingga topingnya melebar kemana-mana, potongan wortelnya terlalu kecil, dan potongan kentangnya terlalu besar. Adonan kulitnya terlalu berminyak.

"Enak kan, Sayang?" Rossie tersenyum cerah, salah mengartikan ekspresi wajah Adica.

"Enak...enak banget." Adica menyahuti, berusaha menikmati.

"Ok. Kalo gitu, sebagian aku kirimin ke rumah Calvin ya."

Mengirim ke rumah Calvin? Aman. Setidaknya, Rossie akan lebih dihargai.

"Aku ikut." kata Adica, bangkit berdiri dari sofa.

"Eits, kamu abisin dulu risoles burgernya." cegat Rossie.

"Iya nanti aku abisin. Sekarang aku ikut kamu, ok?"

Rossie tak bisa menolak. Berdua mereka menuju rumah seberang.

**    

Aku mulai tak suka

Ketika kau mulai acuhkan diriku

Apakah kau masih menganggap diriku

Sebagai kekasihmu

Seringkali kau lupakanku

Saat bersama teman-temanmu

Pilih aku atau teman-temanmu

Dan ku kan pergi tinggalkanmu

sungguh aku tak suka

Bila kamu tak perhatian padaku

Apakah kau masih menganggap diriku

Sebagai kekasihmu (kekasihmu)

Seringkali (sering) kau lupakanku (lupakan)

Saat bersama teman-temanmu

Pilih aku atau teman-temanmu

Dan ku kan pergi tinggalkanmu

Dan ku kan pergi tinggalkanmu

Seringkali kau lupakanku

Saat bersama teman-temanmu

Pilih aku atau teman-temanmu

Dan ku kan pergi tinggalkanmu

kau lupakanku

(saat bersama teman-temanmu)

Pilih aku atau teman-temanmu

Dan ku kan pergi tinggalkanmu

Dan ku kan pergi tinggalkan

Tinggalkanmu (Maudy Ayunda-Aku Atau Temanmu).

Sivia sengaja bernyanyi keras-keras. Jemarinya menari anggun di atas tuts piano. Mata birunya mengerling ke teras rumah. Terlihat Calvin dan Reinhard tengah asyik memberi makan seekor anjing Pomeranian. Calvin keasyikan mengagumi anjing lucu itu sampai-sampai mengabaikan Sivia.

Sering kali anjing Pomeranian milik Reinhard masuk ke halaman rumah Calvin. Sivia takut pada binatang itu. Sebaliknya, Calvin sangat menyukainya. Kini, Calvin selalu minta izin main sebentar dengan anjing Pomeranian itu tiap kali Reinhard menjemputnya.

"Sumpah, kamu lebih baik dari istriku. Calvin, kalau kamu perempuan, udah aku nikahin kamu." Reinhard ceplas-ceplos saja memuji Calvin.

"Enak aja. Untung aku laki-laki. Jadinya bisa nikahin Sivia." timpal Calvin, tersenyum geli.

"Rinjani aja nggak suka anjing. Dia nggak ngerti sama hobiku...rasa sayangku sama anjing."

"Selera tiap orang beda-beda, Rein."

Nyanyian Sivia mengeras. Calvin menolehkan kepala ke ruang tamu. Barulah ia tersadar. Reinhard mengedip penuh arti. Buru-buru dia membawa anjingnya pergi.

"Sorry, Princess...kamu kesal ya, aku cuekin?" ujar Calvin lembut sambil mengelus rambut Sivia.

"Udah tau nanya!"

Sepasang suara barithon dan mezosopran memberi salam. Mereka berdua turun ke halaman. Ternyata Adica dan Rossie. Sivia menatap waswas ke arah piring bertutup serbet makan yang dibawa si florist cantik. Calvin mempersilakan mereka masuk.

Tepat ketika mereka sampai di ruang tamu, hujan mencium langit. Udara dingin mengepung tanpa kenal kasihan. To the point saja Rossie meminta Calvin dan Sivia mencicipi makanannya.

"Harus sekarang?" elak Sivia berusaha menghindar.

"Iya...cobain dong." bujuk Rossie.

Calvin dan Sivia mencicipinya. Raut wajah mereka berlainan. Sivia memasang ekspresi jijik. Senyum menghiasi wajah tampan Calvin selama ia memakannya.

"Enak," puji Calvin.

"Are you serious?" tanya Rossie antusias.

"Yes, I'm..."

"Alah jangan bohong, Calvin! Risoles gagal gini dibilang enak! Siapa yang masak?" potong Sivia.

"Aku!" sahut Adica cepat. Ditingkahi pandangan aneh Rossie.

Tidak, Adica tidak bisa membiarkan Rossie malu. Lebih baik dirinya saja yang dipermalukan. Terdengar dengusan mencela dari hidung Sivia.

"Kamu atau dua-duanya?" gertak Sivia kasar. Calvin menyikutnya, berbisik menyabarkan.

"Aku yang bikin, Sivia. Masakanku memang payah. Kalah jauh sama Rossie. Kamu harus cicipin masakan istriku yang sebenarnya. Dijamin kamu ketagihan."

Haru menyelimuti Rossie. Ia paham cara Adica membelanya. Bukan hanya Rossie yang cukup peka di ruangan ini. Calvin pun bisa merasakan, ada pembelaan yang kuat dalam nada suara dan gesture Adica. Suami yang baik akan melindungi kehormatan istrinya.

"Hei Rossie, kamu pernah cobain masakan kamu atau suamimu nggak?" Sivia kembali menyerang Rossie.

"Nggak. Aku sukanya makan roti gandum. Soalnya aku takut gemuk."

Jawaban polos Rossie sukses mengejutkan Sivia. Rossie, florist bertubuh setinggi 175 senti dengan bobot tubuh 41 kg, merasa gemuk?

"Aku nggak kurus-kurus, Sivia. Makanya aku makan roti gandum tiap hari." tutur Rossie sedih.

Aneh, sungguh aneh. Perempuan bertubuh sekurus kerangka itu merasa gemuk? Ada yang salah. Calvin dan Sivia melempar pandang bertanya pada Adica.

Hujan deras di luar membuat Adica dan Rossie tertahan di rumah itu. Calvin menyajikan pai apel dan coklat hangat untuk mereka. Ketika Rossie membantu Sivia mencuci gelas, Calvin menuntaskan rasa penasarannya.

"Rossie kena Anorexia Nervousa. Dia jarang makan, kecuali kalau lagi bertamu atau saat dia udah kelaparan banget. Dia selalu merasa tubuhnya gendut. Maunya makan roti gandum, nggak mau makan yang lain. Tiap hari aku paksa dia makan banyak, tapi dia nggak mau."

Tertangkap getar sedih dalam suara Adica. Calvin menepuk-nepuk pelan punggung tetangganya itu.

"Suatu saat Rossie akan sembuh. Kamu sabar ya..." ucapnya meneguhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun