Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

E-mail di Larut Malam

28 Agustus 2018   05:54 Diperbarui: 28 Agustus 2018   08:23 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekali membaca pengirim e-mailnya, Calvin langsung tahu itu siapa. Rossiana37@gmail.com. Tak salah lagi.

Dear Calvin,

Malam ini, aku terpaksa mengganggumu lagi. Meski sisi lain hati kecilku, bagian hati yang paling dekat dengan Revan, berkeras menolak. Tapi, aku tak tahu lagi harus mengadu pada siapa.

Calvin,

Tadi siang Revan datang ke Global Classica. Dia datang saat jam pulang. Sempat kupikir dia salah satu orang tua murid, karena ia berbaur di antara para penjemput. Ia juga sempat menggendong muridku yang terluka.

Revan mengaku, ia tak bisa lama-lama jauh dariku. Aku pun begitu. Awalnya ia masih bersikap dingin. Beberapa kali kujelaskan kalau aku dan kamu tidak bermaksud main api. Ia mau menerima penjelasanku. Tapi, dia tetap marah padamu. Maaf Calvin, aku tak bisa membujuk Revan untuk memaafkanmu. Kabar buruknya lagi, Revan tidak mengizinkan Silvi dekat denganmu. Oh sorry, Calvin...

Setelah berbaikan, aku ajak Revan ke rumahku. Saat itu Ayah dan Bunda tak ada di rumah. Revan bertekad meluluhkan hati Ayah.

Satu jam kami menunggu, akhirnya Ayah pulang. Ayah marah sekali melihat Revan. Belum pernah kulihat Ayah semurka itu. Beliau memang sering marah, tapi tak separah hari ini.

Ayah menekan Revan dengan kefanatikannya. Terus saja dia menceramahi Revan tentang mahram dan larangan perempuan menerima tamu lelaki yang bukan mahramnya. Aku dan Bunda berusaha menengahi. Tapi, Ayah mengabaikan kami.

Cukup lama aku dan Revan berada di rumah. Saat makan bersama, berulang kali Ayah menyindir Revan. Kata-kata tajam sarkastiknya melukai perasaan. Bayangkan, Calvin. 

Ayah menanyai Revan lebih enak mana daging sapi yang kami makan tadi dibandingkan daging babi. Jelas Revan kaget ditanyai begitu. Revan Muslim sejak lahir, mana pernah mencoba daging babi? Tampilan fisiknya saja yang membuat orang mudah berprasangka. Ah iya, soal tampilan fisik itu, Ayah juga terang-terangan mengungkapkan ketidaksukaannya pada rambut pirang dan mata biru Revan. Itu menyakitkan sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun