Tuan Effendi pernah mengajarinya cara meminta maaf pada wanita. Katakan maaf dengan bunga. Calvin terinspirasi ajaran Papanya.
Pagi-pagi sekali, ia sudah meluncurkan mobilnya ke Julia Florist. Bangunan dua lantai dengan paduan warna krem dan coklat itu meneduhkan hati. Melembutkan pandangan mata.
Rolling door bergulung naik. Julia tersenyum hangat menyambutnya. Pagi ini, ia tampak cantik dan segar dalam balutan floral dress selutut. Riasan wajahnya minimalis saja. Ia hanya menyapu wajahnya dengan sedikit bedak dan bibirnya dengan lipstick berwarna peach.
"Pagi, Calvin." sapa Julia.
Kehangatan Julia sedikit memudarkan kekhawatirannya. Semula ia pikir Julia akan marah atau menyalahkannya gegara kejadian itu. Kekhawatirannya tak terjadi.
"Pagi," Calvin balas menyapa, melangkah masuk ke ruang utama toko bunga.
Wangi bunga membelai hidungnya. Jajaran pot-pot berisi aneka bunga cantik memanjakan penglihatan. Penataannya rapi dan artistik. Bunga asli terpajang di bagian depan dan bagian tengah toko. Ada sudut khusus berisi rak-rak kecil yang menjual bunga imitasi. Bunga-bunga yang dirangkai dari kertas warna. Selain menjual bunga potong, buket bunga, dan bunga imitasi, Julia Florist juga menyediakan bibit bunga. Seolah mengerti tipe konsumen yang lebih senang merawat bunga dari bibit hingga mekar sempurna.
"Kamu pembeli pertamaku hari ini, Calvin." seloroh Julia, berdiri di sisi sahabat Tionghoanya.
"Jadi, aku dapat diskon kan?" Calvin tersenyum menggoda, menjentikkan jarinya di depan hidung Julia.
Wanita blasteran Sunda-Jawa-Belanda itu tertawa. "Okelah, buat penglaris. Mau beli bunga apa pagi ini? Lavender kesukaannya Tante Rose atau...?"
Julia sudah hafal bunga-bunga yang biasa dibeli Calvin. Ia selalu membeli bunga lavender tiap kali berziarah ke San Diego Hills. Bunga lily tak pernah absen dipesannya untuk Silvi.