Sesaat mereka berpandangan. Terpagut rasa terima kasih bercampur empati dan kasih sayang. Calvin Wan dan Syifa Ann terlarut dalam rasa, tanpa sadar menzhalimi Adica Wirawan.
** Â Â Â
Salah paham hadir tanpa bisa dicegah. Cinta retak karena salah paham. Retaknya cinta memperparah kondisi raga.
Terlambat bagi Calvin dan Syifa untuk tahu. Orang yang mereka cintai sakit, sakit teramat parah. Luka batinnya sempurna membuat sakitnya kian parah. Kian dalam menggerogoti tanpa belas kasihan.
Heart failure, puncak dari segalanya. Cardiac Resynchronization Therapy tak banyak membantu. Terpuruk dalam rasa bersalah, itulah yang kini dirasakan Calvin dan Syifa.
Seluruh waktu hanya untuknya. Untuk memastikannya tetap baik-baik saja. Berulang kali Calvin minta maaf pada sepupu sekaligus adik angkatnya. Mencoba meluruskan kesalahpahaman, namun nihil.
Malam berkabut itu menjadi malam terakhir Syifa, Calvin, dan Adica. Pedihnya salah paham tak mampu diluruskan lagi. Kabut kesedihan menutup malam dengan pekat. Kelam, menyakitkan, tanpa adanya celah untuk masuknya sebersit pun kebahagiaan.
"Jika aku meninggal," Perlahan pria pertama dan terakhir yang dicintai Syifa itu berbisik, memegang lembut tangan istri cantiknya.
"Menikahlah dengan Calvin."
Di luar sana, kabut menebal. Seiring menguatnya kesedihan di hati Syifa. Di depan ranjang putih itu, Syifa terisak. Membasahi tangan pria pendamping hidupnya dengan lelehan air mata.
Ternyata, itu bukan sekadar ucapan terakhir sebelum Izrail jatuh cinta dan mencabut nyawa dengan lembut. Permintaan aneh itu tertera pula di surat wasiat. Selembar surat yang baru dibuka pada peringatan hari ketujuh.