Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Isyarat Penebar Kabut Kesedihan

14 April 2018   05:40 Diperbarui: 14 April 2018   07:33 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Gaya Hidup - Republika

Ku tak pernah bisa membayangkan

Hari-hari tanpamu

Aku lelah, aku jera

Aku rasa cinta tak berguna

Ingin pergi tapi tak bisa

Hatiku masih milikmu

Hatiku masih milikmu (Bunga Citra Lestari-Jera Hatiku Masih Milikmu).

**       

Beberapa meter di depan pintu check in room, langkahnya terhenti. Rona kesedihan menepi di wajah tampannya. Sepasang mata sipitnya memancarkan duka.

"Mengapa kamu ragu, Adica Sayang? Perpisahan ini memang memberatkan hati, tapi..." Syifa berbisik, kristal-kristal bening bergulir ke pipinya.

Tangannya terulur. Menggenggam tangan istrinya erat. Dua pasang mata beradu. Mempertemukan kehangatan, kesedihan, dan cinta.

"Berat bagiku berpisah denganmu, Syifa. Tapi ini amanah Calvin. Aku harus pergi."

"Aku juga. Percayalah, ini hanya sementara. Kita akan bertemu lagi, Sayang."

"Aku tidak tahu, apakah kita akan bertemu lagi atau tidak."

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Adica melepas cincin pernikahannya. Ya, ia lepaskan cincin itu tepat di depan mata istrinya. Diberikannya cincin itu ke tangan Syifa.

"Apa...apa maksudmu? Mengapa kaulepas?" lirih Syifa. Cincin yang dipegangnya bergetar nyaris jatuh.

Bukannya menjawab, Adica memeluknya. Pelukan paling erat yang pernah ia berikan. Seolah ini pelukan terakhir.

Dengan wajah sendu berurai air mata, Syifa membalas pelukannya. Keduanya berpelukan begitu lama. Seakan mereka ingin berpelukan seperti itu selamanya. Tak ada yang menginginkan perpisahan. Cepat atau lambat, pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan.

Di kejauhan, sepasang mata sipit dan sepasang mata biru pucat lekat memperhatikan. Kabut kesedihan mengambang di mata mereka. Si gadis pemilik mata biru pucat berkali-kali mengusap mata sebelah kirinya. Bukan hanya karena rasa sakit, tetapi juga karena kesedihan. Pria berjas hitam dan bermata sipit memeluk pundaknya lembut.

"Mata Silvi sakit lagi?" tanyanya lembut.

Silvi memalingkan wajah. Pelan memundurkan kursi rodanya. Menjauhi pria itu.

**       

Dua belas tahun hidup bersama Adica, Syifa tak siap berjauhan. Kebersamaan membuatnya terbiasa. Kebersamaan membuatnya mencinta begitu dalam. Wanita cantik berhati lembut itu mengalihkan pikirannya dari kesedihan dan kerinduan mendalam. Ia mengasuh kedua putri kembarnya, Julia dan Calisa, sepenuh hati. Keponakan cantiknya, Silvi, ia beri perhatian yang nyaris sama. Kasihnya tercurah untuk mereka bertiga.

Limpahan kasih sayang sedikit-banyak memulihkan hati Silvi. Ia justru lebih dekat dengan Auntienya dibandingkan dengan Calvin, ayahnya sendiri. Di mata Silvi, Adica dan Syifa adalah tipe orang tua ideal. Sosok ayah dan ibu yang sempurna.

"Silvi kesal, Silvi kecewa. Memangnya yang boleh masuk masjid Cuma yang matanya hitam dan kulitnya gelap aja ya? Yang mata biru nggak boleh masuk masjid?" rajuk Silvi sore itu. Ia video call dengan Uncle Adica tercintanya, lalu bergelayut manja di pelukan Syifa. Mengadukan semuanya, semuanya.

"Bukan begitu, Sayang. Mungkin mereka hanya heran melihat Silvi. Orang bermata biru kan jarang sekali di Indonesia, apa lagi Muslim. Silvi boleh kok shalat di masjid. Silvi punya hak beribadah yang sama seperti Muslim Indonesia lainnya."

Penghiburan itu menenangkan hati Silvi. Namun isaknya sesekali masih terdengar.

"Coba tanya Uncle Revan. Bukankah Uncle Revan punya mata biru juga? Bahkan rambutnya pirang. Sangat mencolok ketika masuk masjid...menimbulkan tanda tanya dan anggapan tertentu. Jangan sedih ya, Sayang. Islam di Indonesia tak hanya milik Native, tetapi milik Non-Native juga. Muslim Indonesia tak melulu identik dengan kulit sawo matang dan mata hitam. Yang berkulit putih, bermata sipit, bermata biru sekali pun pantas menjadi Muslim di Indonesia."

Lebih banyak air mata mengaliri pipi Silvi. Terlalu lama menangis sukses membuat matanya terasa sakit. Mula-mula mata sebelah kirinya serasa ditusuk ribuan jarum. Bisa bayangkan betapa sakitnya itu? Tertusuk satu jarum pun sakit, apa lagi ribuan. Lalu, sakit itu menjalar ke mata kanannya.

Ah, mengapa mata ini membawa rasa sakit? Silvi bersyukur tak bisa melihat dengan sempurna, lantas terhindar dari dosa mata. Terhindar dari zina mata. Ia pun bersyukur karena kedua kakinya lumpuh. Alhasil ia kesulitan menjangkau tempat-tempat yang bisa menimbulkan dosa dan maksiat. Namun, tetap saja darah campuran dan sepasang mata biru pucat membawa rasa sakit.

"Andai saja Uncle Adica ada di sini...Silvi kangen." lirih anak cantik itu.

Berbaring di pangkuan Syifa, Silvi merasakan rasa sakit berkali lipat di kedua matanya. Lelah menumpahkan kesedihan dan menahan sakit, Silvi tertidur. Saat itulah Calvin datang. Mengambil alih tubuh Silvi, menggendongnya.

"Terima kasih sudah menemani Silvi," ucapnya lembut.

Sesaat mereka berpandangan. Terpagut rasa terima kasih bercampur empati dan kasih sayang. Calvin Wan dan Syifa Ann terlarut dalam rasa, tanpa sadar menzhalimi Adica Wirawan.

**     

Salah paham hadir tanpa bisa dicegah. Cinta retak karena salah paham. Retaknya cinta memperparah kondisi raga.

Terlambat bagi Calvin dan Syifa untuk tahu. Orang yang mereka cintai sakit, sakit teramat parah. Luka batinnya sempurna membuat sakitnya kian parah. Kian dalam menggerogoti tanpa belas kasihan.

Heart failure, puncak dari segalanya. Cardiac Resynchronization Therapy tak banyak membantu. Terpuruk dalam rasa bersalah, itulah yang kini dirasakan Calvin dan Syifa.

Seluruh waktu hanya untuknya. Untuk memastikannya tetap baik-baik saja. Berulang kali Calvin minta maaf pada sepupu sekaligus adik angkatnya. Mencoba meluruskan kesalahpahaman, namun nihil.

Malam berkabut itu menjadi malam terakhir Syifa, Calvin, dan Adica. Pedihnya salah paham tak mampu diluruskan lagi. Kabut kesedihan menutup malam dengan pekat. Kelam, menyakitkan, tanpa adanya celah untuk masuknya sebersit pun kebahagiaan.

"Jika aku meninggal," Perlahan pria pertama dan terakhir yang dicintai Syifa itu berbisik, memegang lembut tangan istri cantiknya.

"Menikahlah dengan Calvin."

Di luar sana, kabut menebal. Seiring menguatnya kesedihan di hati Syifa. Di depan ranjang putih itu, Syifa terisak. Membasahi tangan pria pendamping hidupnya dengan lelehan air mata.

Ternyata, itu bukan sekadar ucapan terakhir sebelum Izrail jatuh cinta dan mencabut nyawa dengan lembut. Permintaan aneh itu tertera pula di surat wasiat. Selembar surat yang baru dibuka pada peringatan hari ketujuh.

Cinta pun menang. Wasiat untuk menikah lagi luruh, ak terlaksana. Syifa bertahan pada janjinya. Sebelum menikah, sempat terjalin sebuah janji: takkan menikah lagi bila salah satu meninggal lebih dulu.

Namun, ada satu lagi wasiat yang cukup berat. Wasiat yang menandakan betapa lembut hati suaminya. Tak tanggung-tanggung, Adica mewasiatkan ginjalnya didonorkan untuk Calvin dan kedua matanya diberikan untuk Silvi. Jelas saja Calvin dan Silvi tak mau. Mereka berdua ikhlas. Lebih memilih hidup dengan organ cacat tak sempurna dari pada harus mengambil organ tubuh orang yang mereka cintai.

"Tidak, aku tidak mau." Tolak Silvi keras-keras.

"Aku mau mata biru ini saja. Uncle Adica sudah terlalu banyak menderita."

Calvin menyeka ujung matanya. "Aku tak rela adik angkatku tersayang dikuburkan dengan organ tubuh tak lengkap. Saat masih hidup ia sangat tampan, begitu pula saat ia sudah meninggal."

Wasiat super berat itu pun batal. Tanpa funeral organizer, namun berbalut sentuhan cinta, pemakaman berlangsung. Mercy Mansion San Diego Hills dipenuhi para pelayat yang datang dengan penuh cinta.

**      

Berjuta fatwa cinta yang ada

Mengantarku pada kenyataan

Hatiku memeluk bayang-bayang

Ingin denganmu tapi tak bisa

Aku bukan aku yang dulu

Namun cintaku seperti dulu

Merelakanmu aku merasa

Bagai bulan dikekang malam (Rossa-Bulan Dikekang Malam).

**        

Alila Villa Uluwatu, tempat yang dikunjungi Silvi untuk melarikan luka hatinya. Kehilangan orang yang dicintai, orang yang telah dianggap sebagai ayahnya sendiri, sungguh menyakitkan. Menatap senja berlatar belakang indahnya laut lepas, berharap sedihnya pergi bersama berkas terakhir warna merah keemasan yang menghias langit.

Anak cantik bergaun tafetta pale blue itu menatap nanar langit kemerahan. Merahnya langit kontras dengan birunya lautan di depan kakinya. Tubuh Silvi sedikit gemetar. Jari-jarinya terasa dingin. Air mata menetes ke pipinya.

"Aku tidak mau mata itu...aku tidak mau." lirihnya berulang-ulang.

"Mata itu bukan milikku."

Sesosok pria tinggi semampai berjas biru muda, berambut pirang, dan bermata biru memeluknya. Berusaha mengalirkan kehangatan. Coba menyamai pemilik kehangatan yang baru saja meninggal. Lembut menghapus kabut kesedihan di hati Silvi.

"Itu keputusanmu, Sayang. Silvi anak baik...baik sekali." pujinya tulus.

Sejurus kemudian, pria berdarah Minahasa-Portugis-Turki itu membungkuk. Mencium kening Silvi dan berkata, "Ben her zaman senin yanndaym."

Tak jauh dari mereka, wanita jelita dengan gaun off shoulder berwarna broken white beerdiri terpaku. Ia menangis. Terkenang masa lalu.

"Di sini, dua belas tahun yang lalu, kita menikah. Menyatukan dua jiwa...ingatkah kau, Sayang?" isaknya. Menatap langit dengan hampa. Percik-percik kesedihan menetesi palung hatinya.

Pria tampan dengan wajah oriental dan jas hitam Calvin Klein mendekat. Berdiri di sisinya tanpa kata. Bukan penghiburan yang dibutuhkan wanita ini, melainkan kehadiran seseorang di sampingnya. Itu saja.

"Kautahu, hidup sendiri tanpamu itu berat." lanjut si wanita, perlahan menyapu air mata.

"Mengapa sulit sekali merelakanmu?"

Ombak menghempas bibirr pantai. Namun tak mampu menghempaskan kesedihan.

**      

Paris van Java, 14 April 2018

Berusaha tetap menulis cantik, dan memainkan piano, di tengah ribuan jarum jahat yang terasa menusuk dan mengirimkan rasa sakit di bola mata. Something wrong with my eyes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun