"Berat bagiku berpisah denganmu, Syifa. Tapi ini amanah Calvin. Aku harus pergi."
"Aku juga. Percayalah, ini hanya sementara. Kita akan bertemu lagi, Sayang."
"Aku tidak tahu, apakah kita akan bertemu lagi atau tidak."
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Adica melepas cincin pernikahannya. Ya, ia lepaskan cincin itu tepat di depan mata istrinya. Diberikannya cincin itu ke tangan Syifa.
"Apa...apa maksudmu? Mengapa kaulepas?" lirih Syifa. Cincin yang dipegangnya bergetar nyaris jatuh.
Bukannya menjawab, Adica memeluknya. Pelukan paling erat yang pernah ia berikan. Seolah ini pelukan terakhir.
Dengan wajah sendu berurai air mata, Syifa membalas pelukannya. Keduanya berpelukan begitu lama. Seakan mereka ingin berpelukan seperti itu selamanya. Tak ada yang menginginkan perpisahan. Cepat atau lambat, pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan.
Di kejauhan, sepasang mata sipit dan sepasang mata biru pucat lekat memperhatikan. Kabut kesedihan mengambang di mata mereka. Si gadis pemilik mata biru pucat berkali-kali mengusap mata sebelah kirinya. Bukan hanya karena rasa sakit, tetapi juga karena kesedihan. Pria berjas hitam dan bermata sipit memeluk pundaknya lembut.
"Mata Silvi sakit lagi?" tanyanya lembut.
Silvi memalingkan wajah. Pelan memundurkan kursi rodanya. Menjauhi pria itu.
** Â Â Â Â