Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Awalan] Melodi Silvi, Mengapa Ayah Tak Menikah?

26 Februari 2018   06:07 Diperbarui: 26 Februari 2018   06:16 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

"Silvi anakku, bila kautanya mengapa ayahmu ini tak menikah, jawabannya di sini."

Calvin menggendong Silvi. Membuka pintu mobil, lalu turun. Berjalan pelan menyusuri tepi jalan. Memandang sendu ke arah biara putih di kejauhan.

"Ayah, turunkan aku." Silvi merajuk manja. Menempelkan dagunya di punggung Calvin.

"Ayah ingin jaawab pertanyaanmu, Sayang."

Silvi mengikuti arah pandang Calvin. Sebuah biara megah bercat putih berdiri anggun. Halamannya luas. Pepohonan meneduhi bagian kanan dan kiri halaman. Pot-pot kecil berisi bunga dan tanaman hias berderet rapi. Sejumlah biarawati keluar-masuk biara. Seperti ada kesibukan yang tak biasa di dalamnya. Mungkin sebentar lagi ada Misa atau selebrasi lainnya.

Hati Calvin diberati rindu. Pedih, pedih sekali melihat para biarawati itu. Kenangan lama muncul ke permukaan. Hatinya terluka, luka yang sangat dalam.

Dari dalam biara, muncul sosok wanita cantik berjubah abu-abu keperakan. Pembawaannya anggun. Senyum tipis terlukis di bibir indahnya. Wanita itu cantik sekali. Wajah pualam diimbangi sepasang mata hijau yang teduh menenangkan. Parasnya perpaduan Mongoloid dan Kaukasoid.

"Ayah, siapa itu? Cantik sekali..." desah Silvi kagum.

"Namanya Rossie, Sayang. Seharusnya, dialah yang jadi Bundamu."

Mendengar itu, Silvi terenyak. Menatapi figur cantik berjubah abu-abu yang berjalan anggun menuruni tangga biara. Tersenyum pada teman-temannya sesama biarawati.

Hati Calvin berdesir. Senyuman itu seindah dulu. Andai saja senyuman Rossie masih untuknya.

Rossie takkan bisa menarik lagi keputusannya. Ia teetap teguh memegang tiga kaul kebiaraannya: kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Semusim waktu yang diperlukan Calvin untuk mencintai Rossie. Seumur hidup ia habiskan untuk melupakan biarawati cantik berdarah Sunda-Jerman itu.

**     

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).

**      

Mengenakan jas hitam, Calvin terbaring di lantai. Ia berbaring tak bergerak, tak bergerak, tak bergerak. Hatinya perih luar biasa. Mengunjungi biara itu ternyata menggores luka lama.

Serpihan hatinya telah lama dibawa lari Rossie. Tak dapat terambil lagi. Bila waktu dapat diputar kembali dan Rossie menarik keputusannya, semuanya terasa indah.

Ginjal sebelah kanannya sakit sekali. Namun tak sesakit hatinya. Calvin merintih kesakitan tanpa sadar. Silvi tak boleh melihatnya begini.

Pelan-pelan Calvin mengubah posisi tubuhnya. Ia berbaring miring, menekuk sedikit kedua lututnya. Tangannya bersedekap di perutnya, dekat bagian yang terasa sakit. Tawaran untuk menikah datang berulang kali. Tak pernah disambutnya. Calvin tidak akan menikah. Ia bertekad merawat Silvi dengan kekuatannya sendiri. Sekalipun tubuhnya tak sekuat dulu lantaran sakit ginjalnya itu. Sebuah ujian dan tantangan hidup yang harus dilewatinya.

**      

Buru-buru Silvi memutar kursi rodanya. Wajahnya sendu berurai air mata. Seorang wanita paruh baya berambut putih menghapus lembut air matanya.

"Nggak apa-apa, Non Silvi...nggak apa-apa. Ayahmu hanya butuh sendiri." hibur wanita paruh baya itu.

"Tapi Ayah sedih! Ayah lagi sakit!"

Rupanya Silvi sudah tahu. Tak mudah menyembunyikan sesuatu dari anak cantik itu. Melepas kasar pegangan tangan pengasuhnya, Silvi menggerakkan kursi rodanya ke pintu depan.

"Non Silvi, mau kemana?"

"Mau ke biara, ketemu Suster Rossie!/"

**       


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun