Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Pengganti, Pembuka Hati (9)

23 Oktober 2017   06:19 Diperbarui: 23 Oktober 2017   07:11 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku sudah ke rumah Silvi," kata Nanda perlahan. Menarik kursi ke dekat ranjang, lalu mendudukinya.

Radioterapi internal baru saja selesai. Calvin gelisah selama terapi. Takut terjadi sesuatu pada Silvi. Sama sekali tak dikhawatirkannya diri sendiri.

"Silvi baik-baik saja, kan? Apa dia kesulitan melakukan sesuatu?" tanya Calvin cemas.

Kilatan cemburu sekilas tertangkap di mata Nanda. Hanya sekilas, tak lebih dari tiga detik. Namun tetap saja terlihat. Apa hak Nanda untuk cemburu?

"Silvi hampir menumpahkan air teh. Tapi bisa diatasi. Dia juga kesulitan saat mengambil alat penyiram bunga. Sudah kubantu. Selebihnya dia dan Syahrena baik-baik saja."

"Good. Thanks Nanda."

Nanda tersenyum terpaksa. Ia senang bisa menolong Calvin. Tapi ia sedih pada kenyataan pahit yang dihadapinya. Mencintai tanpa dicintai.

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Nanda. Cepat-cepat ia bangkit. Di ambang pintu, berdirilah Revan. Melangkah cepat memasuki ruang rawat. Ia berhenti sejenak di meja samping tempat tidur. Meletakkan parsel buah-buahan yang dibawanya.

"Calvin, kamu sakit apa? Kata manager cafe, kamu masuk rumah sakit. Makanya aku cepat-cepat ke sini." Revan bertanya penuh perhatian.

Sebuah kemungkinan tak terduga. Mereka belum siap menjawab pertanyaan semacam ini. Revan datang ke rumah sakit pun bukan hal yang mereka duga sebelumnya.

"Nggak usah khawatir, Revan. Cuma sakit biasa. Kayaknya gara-gara Kang Calvin kelelahan," jawab Nanda akhirnya. Cepat sekali ia menguasai diri.

"Beneran? Kok sampai masuk RS segala?" selidik Revan.

"Iya. Cuma nurut saran dokter sih. Biar cepat sembuh."

Dalam hati, Calvin berterima kasih pada Nanda. Ia pandai menyelamatkan situasi. Entah apa yang harus ia lakukan tanpa Nanda di sisinya.

Untuk kesekian kalinya, Nanda melakoni perannya sebagai istri yang baik. Ia berakting dengan sangat sempurna. Calvin terkesan, Revan terkesima.

Hingga waktu kunjungan selesai, Revan tetap di sana. Ia baru pergi saat diingatkan seorang perawat. Calvin makin terkesan pada Revan. Ternyata ia baik dan care pada orang lain. Makin mantap tekad di hatinya memilih Revan sebagai mata pengganti untuk Silvi.

"Nanda, kurasa sudah waktunya memperkenalkan Revan pada Syahrena."

**       

Kebun kecil bunga lily itu memanjakan pandangannya. Silvi berdiri menatap bunga-bunga cantiknya yang bermekaran. Hatinya senang, namun resah di saat bersamaan.

Silvi puas bisa merawat bunga lily mulai dari bibitnya. Ada kesenangan tersendiri melihat bunga lily kesukaannya. Bunga yang ia tanam dengan usahanya sendiri.

Namun keindahan ini tak lengkap jika hanya dinikmati sendiri. Silvi ingin berbagi keindahan pada orang lain. Syahrena sedang les ballet. Praktis ia tak bisa berbagi keindahan bersama putrinya.

Calvin? Katanya ada urusan pekerjaan. Aneh, bukankah Calvin sedang cuti? Silvi tak mempertanyakannya secara langsung. Ia biarkan saja suaminya sibuk dengan pekerjaan meski cuti panjang telah diambil. Sebagai istri yang baik, Silvi mengerti sifat suaminya.

Berpikiran positif, itulah yang tengah dilakukan Silvi. Ia meyakinkan dirinya sendiri kalau Calvin takkan berselingkuh. Ia pergi selama beberapa hari semata untuk urusan pekerjaan. Terlebih Adica dan Syifa sempat bercerita padanya. Tentang politik kantor yang tidak disukai Calvin. Mungkin Calvin sedang menyelesaikan urusan tak menyenangkan di perusahaannya itu. Kelak perusahaan keluarga akan jatuh ke tangan Calvin. Sudah disepakati dalam daftar ahli waris.

Sepi menyelimuti rumah besar itu. Sepi yang sama menyusup ke hati Silvi. Pelan-pelan, wanita cantik itu melangkah mundur. Kembali masuk ke dalam rumah. Calvin mengajarinya menikmati kesepian. Terasa sulit sekali. Silvi bukanlah Calvin yang mudah menikmati sepi.

Bel pintu berdering. Merasa teralihkan dari rasa sepi, Silvi bergegas ke ruang depan. Membukakan pintu, dilihatnya Syifalah yang datang. Satu tangannya memegang paperbag berisi beberapa potong pakaian.

"Hai Silvi," sapa Syifa hangat.

"Aku boleh masuk, kan? Kubawakan baju-bajumu yang tertinggal di rumah Mama."

Silvi mengangguk tanpa kata. Mempersilakan Syifa masuk. Orang yang paling ia inginkan kehadirannya saat ini adalah Calvin, bukan Syifa. Alhasil Silvi tak banyak bicara.

"Well, kamu pasti rindu Kak Calvin ya?" tebak Syifa, tersenyum simpul melihat gurat keresahan di wajah kakak iparnya.

"Ya, begitulah." jawab Silvi.

"Sabar. Kak Calvin pasti cepat kembali. Terapinya juga sudah selesai."

"Terapi?"

Refleks Syifa menepuk dahi. Ia telah melakukan kesalahan fatal. Keceplosan adalah kesalahan yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.

"Terapi apa, Syifa? Calvin sakit?" desak Silvi.

Syifa memutar otak. Mencari jawaban. Lalu ia mendapat ide.

"Oh...bukan, bukan terapi medis. Terapi itu hanya istilah saja. Aku, Kak Calvin, dan Kak Adica sengaja memakai kata 'terapi' jika ingin membuat solusi pemecahan masalah di kantor. Semacam kode-kode rahasia gitu. Biar karyawan perusahaan nggak tahu."

Alasan yang sangat mengada-ada. Bahkan Syifa mengakui kebodohannya sendiri saat membuat alasan itu. Anehnya, Silvi percaya. Tak lagi bertanya lebih jauh tentang kata 'terapi' yang dimaksud.

Tak enak dengan kesalahannya sendiri, Syifa buru-buru pamit pulang. Ia melangkah setengah berlari kembali ke mobil. Adica sudah menunggunya. Begitu mendengar cerita adiknya, langsung saja ia memarahi Syifa.

"Keceplosan?! Fatal akibatnya! Jangan sampai terulang lagi!" bentak Adica seraya menjalankan mobilnya.

"Maaf Kak...aku nggak sengaja." sesal Syifa. Kepalanya tertunduk. Menatap Adica pun tak berani.

"Enak saja minta maaf! Aku bukan Calvin yang lembut dan mudah memaafkan orang lain!" Adica makin jengkel. Tangan kirinya memukul dashboard demi melampiaskan kekesalan.

"Iya, tapi Syifa beneran nggak sengaja. Untung bisa cari alasan."

Mobil melaju meninggalkan kompleks perumahan. Melesat di antara kendaraan-kendaraan lainnya yang memadati jalan raya.

"Awas saja kalau Silvi sampai tahu gara-gara kebodohan kamu!" ancam Adica.

Syifa bergerak ketakutan di tempat duduknya. Adica memang tak bisa dibandingkan dengan Calvin. Jika Calvin tahu soal ini, kecil kemungkinannya untuk marah. Ia hanya akan memperingatkan Syifa agar lebih hati-hati. Namun Adicalah yang pertama kali tahu. Jelas Syifa habis kena marah. Syifa mencatat dalam benaknya kalau ia tak boleh melakukan kesalahan yang sama.

**       

Paperbag dibuka. Isinya dikeluarkan satu per satu. Pakaian terakhir yang dikeluarkannya adalah sebuah maxi dress berwarna putih. Mau tak mau Silvi tersenyum. Ini baju favoritnya. Pertama kali ia memakainya bertahun-tahun lalu, saat menghadiri acara gathering para kontributor media citizen journalism bersama Calvin.

Dress cantik ini membuat Silvi teringat Calvin. Tanpa sadar ia memeluknya. Menciuminya, merasakan wangi citrus yang segar merasuk lembut indera penciumannya. Silvi bangkit dari tempat tidur. Mengenakan dress putih itu, lalu berjalan ke depan cermin. Memandangi refleksi dirinya. Dress cantik ini masih muat dipakainya. Sebuah baju kenangan, pikir Silvi.

Sepotong kenangan terlintas. Bagai kepingan puzzle. Mendarat di dasar otaknya, lalu pecah menjadi partikel-partikel kenangan yang jauh lebih kecil.

**       

Betapa bahagianya hatiku

Saat ku duduk berdua denganmu

Berjalan bersamamu

Menarilah denganku

Namun bila hari ini adalah yang terakhir

Namun ku tetap bahagia

Selalu kusyukuri

Begitulah adanya

Namun bila kau ingin sendiri

Cepat-cepatlah sampaikan padaku

Agar ku tak berharap

Dan buat kau bersedih

Bila nanti saatnya telah tiba

Kuingin kau menjadi istriku

Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan

Berlarian kesana-kemari dan tertawa

Namun bila saat berpisah telah tiba

Izinkan ku menjaga dirimu

Berdua menikmati pelukan di ujung waktu

Sudilah kautemani diriku (Payung Teduh-Akad).

**     

Acara gathering para blogger terus berlangsung. Makin semarak, makin banyak blogger yang berdatangan. Mulai dari blogger-blogger muda yang menobatkan diri sampai generasi milenial, sampai blogger senior yang mengaku sebagai generasi X. Semuanya berkumpul di venue. Berkenalan, berbincang, dan bertukar pikiran.

Kecuali sepasang lelaki dan perempuan di kursi rotan itu. Si lelaki Tionghoa berwajah tampan dan perempuan blasteran Sunda-Inggris berpakaian putih dan bermata biru. Sejak awal, mata si perempuan tak berpindah sedikit pun dari wajah laki-laki di sisinya. Merasakan ketampanan dan kebaikan hatinya. Bukan ketampanan dari luar yang ia perhatikan, melainkan ketampanan yang terpancar dari dalam.

"Silvi, matamu masih sakit?"

"Sudah berkurang. Maaf Calvin, aku masih membutuhkan tanganmu."

Tidak, Calvin takkan melepasnya. Ia tahu Silvi butuh kekuatan. Genggaman tangan dari orang yang tulus dan penuh kasih dapat menguatkan.

Cukup banyak blogger yang lewat di depan mereka. Berhenti sebentar untuk bersalaman dan berkenalan. Calvin tetap ramah, sedangkan Silvi setengah hati merespon mereka. Ia tak mudah terbuka pada orang lain. Hanya pada Calvin saja ia mau membuka diri. Menatap para blogger itu saja ia enggan. Tatapannya selalu dan hanya selalu tertuju pada Calvin.

Silvi mencurahkan seluruh perhatiannya hanya untuk Calvin. Tak mau membagi perhatian untuk blogger lain. Secara tidak langsung, Silvi sudah tebar pesona. Banyak blogger yang ingin bicara padanya. Banyak yang tertarik, banyak yang memperhatikan. Tapi Silvi tak sadar. Fokusnya hanya pada Calvin semata.

Sebenarnya mereka berdua telah berhasil tebar pesona. Silvi Mauriska dan Calvin Wan, lovely brother dan lovely sister tebar pesona di acara gathering terbesar para blogger dan netizen itu. Calvin saja sudah charming, terlebih Silvi. Tak heran banyak orang memperhatikan mereka. Lebih banyak lagi yang tertarik. Sayangnya, Silvi dan Calvin sulit didekati. Keduanya hanya mau terbuka satu sama lain, tak mau terbuka dengan blogger lainnya.

Calvin dan Silvi berpegangan tangan. Sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Dunia terasa milik berdua. Apakah para blogger yang lewat memandangi mereka? Mungkin saja, namun sekali lagi, mereka tak peduli.

"Calvin, ada satu hal yang kukhawatirkan." Di luar kemauannya, Silvi mulai mengungkapkan beban kekhawatiran yang terpendam di dasar hati.

"Apa lagi yang kamu khawatirkan, Silvi?"

"Setelah menghadiri acara ini, aku akan bertemu calon kakak iparku. Calvin, sulit bagiku menerima orang baru dalam keluarga. Aku takut dia jahat. Bagaimana jika dia malu punya adik ipar sepertiku? Aku pernah punya pengalaman buruk soal itu."

Hanya sedikit orang yang tahu kalau Silvi punya kakak. Ia jarang sekali bercerita tentang keluarganya. Calvin adalah satu dari sedikit orang yang tahu soal itu.

"Tidak perlu khawatir, Silvi. Belum tentu hal buruk akan terjadi. Belum tentu juga dia akan menjadi kakak iparmu. Trauma pada masa lalu mungkin masih membekas, tapi jangan biarkan pengalaman traumatik memerangkapmu dalam rasa khawatir yang berlebihan." ujar Calvin menenteramkan.

Otomatis Silvi mengeratkan genggaman tangannya. Menatap lekat-lekat wajah Calvin, berusaha mencari ketenangan di sana. Ya, ketenanganlah yang ia dapatkan. Menatap wajahnya, mendengar suaranya, dan memegang tangannya, membiaskan ketenangan di hati Silvi.

"Calvin, aku takut dia bukan orang baik." lirih Silvi.

"Aku menyesal, kenapa kakakku harus memilih orang lain? Bukannya sepupu jauhku yang berusaha kujodohkan dengannya. Sepupu jauhku itu jauh lebih baik. Dia sangat memahami keluargaku. Sekarang dia sudah sukses mengelola bisnis kulinernya. Sayang sekali, kakakku tak mau."

"Namanya menjodohkan orang lain, tidak semua berhasil kan?" Calvin berkata sabar. Silvi tersadar betapa sabarnya Calvin saat itu.

**      

Kali ini mereka tak lagi menempati kursi rotan yang sama. Melainkan berjalan bersisian memasuki sebuah cafe yang terkenal dengan kelezatan pizza dan pastanya. Arus listrik ratusan volt serasa mengalir di tubuh Silvi ketika Calvin menggandeng tangannya. Langkah demi langkah bersama Calvin sangat dinikmatinya. Rasa khawatir berganti bahagia.

Aglio olio, caesar salad, dan Earl Grey menemani kebersamaan mereka. Ternyata Calvin tahu apa yang disukai Silvi. Sangat pengertian. Inilah yang disukai Silvi dari Calvin. Beruntung dirinya memiliki kakak laki-laki sebaik itu.

Kelak Silvi takkan melupakan cafe itu, tempat duduk mereka, dan sepotong kenangan yang terlewati di sana. Bahkan Silvi ingin datang ke tempat ini lagi.

Calvin terlihat makin membuka diri. Banyak bercerita tentang pekerjaannya. Silvi mendengarkan dengan tertarik, tatapannya tetap tertuju ke arah yang sama. Belum pernah ia sefokus itu menatap orang lain. Ia senang sekali Calvin mau terbuka padanya. Walau masih ada beberapa hal yang tersembunyi. Luka-luka itu, kenyataan hidup sendiri tanpa terikat pernikahan, dan beberapa hal lainnya.

Berakhirnya waktu makan siang mengakhiri pula kebersamaan mereka. Silvi harus segera pergi untuk acara lain. Sekali lagi, sebelum berpisah, Silvi menggenggam tangan Calvin erat-erat. Bolehkah waktu berhenti? Agar dirinya bisa tetap bersama Calvin, walau untuk sesaat? Begitu erat genggaman tangan Silvi. Berupaya menyalurkan kekhawatiran yang kembali datang.

"Calvin..." Suara Silvi tak lebih dari bisikan. Ia benar-benar takut dengan pertemuan yang akan dihadapinya nanti.

"Ya?"

Calvin membungkuk, mendekatkan wajahnya pada Silvi. Debaran di hati Silvi bertambah dua kali lipat. Aliran darahnya berdesir kian cepat. Silvi bisa merasakan dan menikmati ketampanan Calvin dari dekat. Bukan ketampanan dari luar, melainkan ketampanan yang terpancar dari dalam.

"Aku masih takut..."

"Don't be affraid, Silvi. Just let it flow. Belum tentu hal buruk akan terjadi." ucap Calvin lembut. Kelembutan yang menenangkan hati.

Kelembutan dan kehangatan Calvin itulah yang membawa Silvi pada ketenangan saat kembali menemui keluarganya. Di hotel, keluarganya mulai bertanya macam-macam tentang Calvin. Mereka mencurigai Calvin. Kecurigaan yang wajar, namun berlebihan menurut Silvi. Apakah mereka tidak bisa melihat dengan kacamata positif? Bukankah Calvin Wan cukup baik?

"Silvi Sayang, sini Mama bantu make up. Kamu harus cantik saat ketemu calon kakak ipar nanti." Mamanya tersenyum lembut, telah berdiri di depan cermin dengan beauty case di tangan.

Ragu-ragu, Silvi beranjak bangkit. Menghampiri sang Mama. Menurut saja saat wanita 52 tahun itu merias wajahnya. Ingin mencoba menjadi anak manis sesekali saja.

"Sayang, siapa sebenarnya Calvin Wan?" Tanpa diduga, Mamanya melemparkan pertanyaan itu.

"He's my lovely brother," jawab Silvi tegas.

"Are you sure? Kenapa Mama tidak suka padanya, ya?" komentar Mama to the point.

"Terserah. So far, aku menyukainya. Dia cukup baik. Lagi pula, aku tidak akan menikah. Jadi, perasaanku padanya tidak akan mengarah pada cinta seperti itu. Memangnya aku seperti kakak-kakak perempuanku? No way..."

Mama terdiam. Menatap sekilas wajah putrinya. Silvi beruntung terlahir dengan wajah yang paling cantik di antara kakak-kakaknya. Penampilannya pun paling anggun di antara mereka. Ia mewarisi mata biru dari nenek buyutnya, dua generasi sebelumnya yang keturunan Eropa. Tak satu pun anak dan cucu dari dua generasi setelahnya mewarisi itu. Hanya Silvi yang memilikinya.

Setengah jam kemudian, mereka turun ke lobi. Bergegas meninggalkan hotel. Menemui calon kakak ipar yang selama ini dibangga-banggakan.

Apa yang ditakutkan Silvi terjadi. Sang calon tak berinteraksi sedikit pun padanya. Melirik pun tidak. Meski demikian, ia respek terhadap anggota keluarga yang lain. Rasa takut kembali menyergap hati Silvi. Beberapa kali ia memejamkan mata, berusaha memikirkan hal lain. Yang terlintas di pikirannya justru ingatan tentang Calvin. Calvin Wan yang rupawan, setia, sabar, dan konsisten. Calvin yang menggenggam lembut tangannya, menenangkannya. Calvin, blogger tampan yang berbakat dan menunjukkan konsistensinya di media itu. Semua ingatan tentang Calvin membuat Silvi tenang.

Di antara keluarganya, Silvi layaknya boneka hiasan saja. Tak dilibatkan, tak diajak bicara. Seakan ia hadir dalam pertemuan ini hanya sebagai pelengkap. Di sekelilingnya, Mama-Papanya begitu bahagia. Kedua kakaknya tersenyum tanpa beban. Hanya Silvi yang terlihat tidak bahagia.

Mungkin calon kakak iparnya malu akan memiliki adik ipar seperti dirinya. Separah itukah dirinya? Hati Silvi meneriakkan ketidakrelaan. Mengapa situasi justru seperti ini?

Jangan harap ada tatapan lembut dan ekspresi bahagia di wajah Silvi seperti ini. Cukup tatapan dingin dan wajah mengintimidasi yang Silvi tunjukkan pada si calon kakak ipar. Tersenyum sedikit pun tidak. Buat apa respek pada orang yang tidak bersikap baik? Bila Silvi selalu memberikan tatapan lembut dan menampakkan senyum bahagia untuk Calvin, ia takkan memberikan dua hal itu pada calon kakak iparnya.

Mata Silvi terpejam untuk ketiga kalinya. Mensugestikan energi positif dalam hatinya yang dipenuhi rasa takut. Ia mengingat Calvin dan kelembutan yang ditawarkannya. Ada racun cinta di tempat ini, namun Silvi berhasil mengobatinya dengan ingatan tentang kebaikan seseorang yang disayanginya.

Silvi kembali mengingat kata-kata Calvin. Adikku yang charming, begitu katanya. Ia tak perlu lagi merasa resah karena perlakuan calon kakak iparnya.

"Calvin Wan...I love you. Terima kasih telah membuatku tenang."

**        

Payung Teduh - Akad

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun