Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Side Story] Haruskah Takut Pada Cinta?

11 Oktober 2017   06:20 Diperbarui: 11 Oktober 2017   08:22 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekian lama telah bersama

Menikmati indah dunia

Mengukir cerita cinta

Namun keadaan menyerah

Memaksa kita tuk berpisah

Merelakan kau dan aku tak lagi satu

Biarkan cinta ini tetap ada

Meski ku coba tuk bertahan tak kuasa ku melupakan kisah kita

Ku bernostalgia

Kenyataan yang ada tak cukup sanggup menghapuskan cinta

Meski kita berbeda namun rasa ini kan terus ada

Biarlah rintangan menghadang

Pastikan kita seirama

Mengenang kisah kita berdua

Kini keadaan berbeda

Memaksa kita tuk berpisah

Merelakan kau dan aku tak lagi satu

Kenyataan yang ada tak cukup sanggup menghapuskan cinta

Meski kita berbeda namun rasa ini kan terus ada

Biarlah rintangan menghadang

Pastikan kita seirama

Mengenang kisah kita berdua

Kenyataan yang ada tak cukup sanggup menghapuskan cinta

Meski kita berbeda namun rasa ini kan terus ada

Biarlah rintangan menghadang

Pastikan kita seirama

Mengenang kisah kita berdua

Julia menyelesaikan lagunya. Tersenyum muram, sejenak mengistirahatkan jemarinya di atas tuts piano. Buliran bening terjatuh membasahi pipinya. Ingatan tentang cinta pertamanya melintas tanpa henti.

"Arif Albert...my prince charming...kau yang mengerti diriku luar-dalam." bisik Julia.

Jebakan akan nostalgia masih memerangkap hati Julia. Wanita Sunda-Jawa-Belanda itu terpaksa harus berpisah dengan cinta pertamanya lantaran desakan perbedaan. Mereka menyerah kalah oleh perbedaan dan hutang budi. Begitu kuat ikatan hutang budi hingga memaksa seseorang berpisah dengan cintanya. Sekuat apakah hutang budi, Julia tak tahu itu. Ia belum pernah merasakannya.

Keluarganya memang pernah jatuh. Namun mereka bangkit dengan kekuatan sendiri. Tanpa perlu berhutang budi pada pihak tertentu. Sejak kecil hingga dewasa, Julia diajari untuk tidak terlalu bergantung pada bantuan orang lain. Bahkan jangan sampai membebani orang lain yang kelak berujung pada hutang budi. Julia mempraktikkan ajaran itu dalam hidupnya.

Sayangnya, mungkin Albert dan keluarganya tidak pernah mendapat ajaran semacam itu. Bukankah kondisi tiap keluarga berbeda-beda?

Sisi lain hati Julia masih merasa tak rela. Ia tidak menyukai cara perpisahannya dengan Albert. Masih ada secercah harapan untuk kembali menyatukan cinta seperti dulu.

Dimanakah Albert kini? Sudahkah ia menyelesaikan tesisnya? Kapankah ia akan menerima sakramen imamat? Pernah terpikir oleh Julia untuk menunggu dan terus menunggu. Mungkin ia harus menunggu hingga Albert selesai dari tugasnya sebagai rohaniwan. Lalu ia bisa kembali bersama pria tampan berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia itu. Tapi itu bisa berpuluh-puluh tahun lagi. Menunggu puluhan tahun? Rasanya tidak masalah. Selama Julia masih punya umur, ia mau menunggu. Apa salahnya menunggu?

Tidak menikah adalah pilihan berikutnya. Ya, Julia ingin sekali hidup tanpa menikah. Seperti Landon Carter yang tidak menikah lagi setelah Jamie Sullivan meninggal. Itu akan lebih indah dan romantis. Sebuah kerelaan dan solidaritas cinta yang mendalam.

Julia cinta, benar-benar mencinta. Bolehkah ia menunggu Albert saja? Atau tetap hidup sendiri sambil memberikan hatinya hanya untuk Albert? Hidup sendiri tapi tetap mencintai masa lalu rasanya lebih mudah dari pada harus menjalani relasi tanpa cinta dengan orang lain.

Masih jelas dalam ingatan Julia betapa nyamannya pelukan Albert setahun lalu. Betapa dekat jarak mereka, Julia dapat menikmati ketampanan Albert dari dekat. Mengagumi kesempurnaan wajahnya. Perpaduan wajah Kaukasia yang sungguh-sungguh menawan.

Air mata ia biarkan mengalir. Bolehkah ia mengenang Albert tepat setahun saat mereka berpelukan dilatarbelakangi derasnya hujan? Kelak Julia ingin kembali ke Coklat Klasik Cafe, tempat kenangan mereka. Ia ingin duduk di meja yang sama, memesan menu yang sama, lalu menikmati nostalgianya. Sayangnya, hingga kini Julia belum punya waktu untuk ke sana lagi. Jadwalnya cukup padat.

"Albert...I love you. Ich liebe dich. Anna uhibbuka fillah. Je t'aime. Aku tidak benar-benar melupakanmu, Sayang. Aku ingin memelukmu lagi...sebentar saja. Kau pria pertama di luar keluarga yang memelukku. Dan aku ingin kau jadi satu-satunya yang kelak memelukku sebagai pendamping hidupku. Entah mungkin saat kita sudah tak lagi muda, dan saat kau terlepas dari hutang budi itu."

Julia masih hafal bagaimana rasanya pelukan Albert. Sepanjang hidup, ia takkan melupakannya. Hanya satu hal yang ia sayangkan: sebelum benar-benar berpisah, Albert sering menyembunyikan banyak hal darinya. Hanya itu yang disesalinya. Selebihnya, Albert tampan luar biasa dan sangat sempurna di mata Julia.

Reminder di ponselnya berbunyi. Setengah jam lagi ia harus pergi. Calvin, sahabatnya, tengah menunggunya di rumah sakit. Belum lepas dari masa kritis setelah mengalami cedera tulang dan infeksi paru-paru setelah terjatuh dari tangga pesawat.

Julia mencemaskan keadaannya. Lebih karena ia menyayangi Calvin. Menyayangi sebatas sahabat, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Dirinya mengingatkan, Calvin bukanlah Albert. Sampai kapan pun, Calvin Wan takkan bisa menggantikan Arif Albert.

Albert lebih segala-galanya dibanding Calvin. Sudah jadi sifat bawaan Julia untuk membandingkan pria-pria yang pernah singgah di hatinya. Albert jelas lebih tampan. Darah Indo yang mengalir di tubuhnya menjadikan ia pria yang menawan. Perasaannya pun lebih halus dari Calvin. Hatinya lembut, sifatnya penyabar, dan ia selalu menjaga perasaan orang lain. Tak seperti Calvin, Albert bukanlah orang yang to the point. Sangat berhati-hati dalam bicara agar perasaan orang lain tidak tersakiti. Sepanjang ingatan Julia, Albert sangat baik. Ia tak segan meminta maaf lebih dulu meski dirinya tidak salah. Sedikit berbeda dengan Calvin. Orang baik takkan segan mengucapkan tiga kata ini: maaf, terima kasih, dan tolong.

Kelebihan Calvin yang tidak dimiliki Albert hanyalah waktu dan materi. Memang terkesan tidak adil, namun begitulah kenyataannya. Calvin jauh lebih kaya dan punya banyak waktu. Sementara Albert tidak memiliki waktu dan secara finansial tidak ada apa-apanya dengan Calvin.

Seketika Julia merasa dirinya begitu jahat. Beraninya dia membanding-bandingkan Calvin dan Albert. Namun Julia melakukan itu bukannya tanpa alasan.

Di rumah, ia tak menemukan role model yang tepat untuk tipe pria ideal. Papanya, Haji Wildan, bukanlah pria ideal. Tidak tampan, tidak dapat dibanggakan, dan tidak bisa diandalkan. Papanya hanya sebatas pelengkap dalam keluarga. Boneka yang dengan mudah dikendalikan Mamanya, Hajah Atika.

Haji Wildan adalah satu-satunya pria di keluarga itu. Namun dia pulalah satu-satunya anggota keluarga yang paling tidak membanggakan. Di rumah Julia, wanitalah yang berkuasa. Papanya sudah kehilangan wibawa sebagai kepala rumah tangga. Mamanya punya power dan kekuasaan jauh lebih besar. Bahkan, kasarnya jika Mamanya ingin menceraikan dan mengusir Papa, maka bisa dilakukan sekarang juga.

Haji Wildan dikenal egois dan selalu mementingkan dirinya sendiri. Mungkin lantaran terbiasa hidup sendiri dan kekurangan kasih sayang di masa kecilnya. Belasan tahun terperangkap dalam tembok tebal sebuah lembaga, menjalani pendidikan berasrama yang kaku, membuat Haji Wildan menjadi kepala keluarga yang pasif serta tidak punya inisiatif. Papanya tidak bisa diandalkan sama sekali. Menyetir mobil pun tidak bisa. Sampai akhirnya mobil pribadinya direbut putri pertama serta putri kedua. Sebagai putri ketiga, Julia tak berdaya. Ia hanyalah anak bungsu yang kesepian dan tak layak didengarkan. Pada siapa pun, Julia mengaku tak punya kakak. Pasalnya Julia tak pernah menganggap mereka sebagai kakaknya. Julia hidup layaknya anak tunggal. Cukup tinggal bertiga saja dengan Haji Wildan dan Hajah Atika.

Julia yang berkulit putih, bermata biru, memiliki hidung layaknya pribumi, dan berpostur tubuh seperti gadis Indonesia, masih merasa bersyukur. Di antara saudara-saudaranya, Julialah yang paling cantik. Mungkin ini semacam kompensasi. Sebagian penglihatannya hilang, namun ia dikaruniai paras yang lebih rupawan. Julia paling berbeda dibandingkan kedua saudara kandungnya.

Sebab itulah Julia mencari cinta pria baik-baik di luar rumah. Jangan harap di rumah ia mendapatkannya. Haji Wildan tak pernah mencintainya. Bahkan tahun lalu Haji Wildan pernah membuang sebagian buku-buku Braille milik Julia. Tak terlukiskan kemarahan Hajah Atika saat itu. Penyakit Diabetes yang pernah menggerogoti hidup Haji Wildan sekali pun tak membuatnya bertobat. Intinya, Julia tak punya keterikatan emosi sedikit pun dengan satu-satunya lelaki di rumahnya.

Perlahan Julia bangkit. Ia harus ke rumah sakit. Ia ingin selalu ada untuk Calvin. Calvin Wan, yang ada di hatinya selain Arif Albert. Rasa cintanya pada Calvin takkan mengikis rasa cintanya pada Albert.

**      

Pertama bertemu ku suka padamu

Begitu juga denganmu

Sayangnya cinta kita tak mungkin bersatu

Namun pernah berjanji sehidup semati

Engkau punya dia

Sementara aku sendiri

Tak mungkin orang kan tahu kita mencinta

Inikah namanya cinta diam-diam

Hanya Tuhan engkau dan aku yang tahu

Biarkanlah ragamu ini jadi miliknya

Namun jiwa dan cintamu pasti untukku

Sampai saat ini kau selalu di hati

Karena ku tak mungkin mengganti

Ku tahu hatimu selalu untukku

Karena cinta kita ini cinta sejati

Engkau punya dia

Sementara aku sendiri

Tak mungkin orang kan tahu kita mencinta

Inikah namanya cinta diam-diam

Hanya Tuhan engkau dan aku yang tahu

Biarkanlah ragamu ini jadi miliknya

Namun jiwa dan cintamu pasti untukku

Inikah namanya cinta diam-diam

Hanya Tuhan engkau dan aku yang tahu

Biarkanlah ragamu ini jadi miliknya

Namun jiwa dan cintamu pasti untukku

Inilah namanya cinta diam-diam (3 Composers-Cinta Diam-Diam).

Pada saat bersamaan, di paviliun rumah sakit itu, Calvin juga tengah bermain piano. Sakit tidak menghalanginya untuk produktif menulis artikel setiap hari dan bermain musik. Seperti biasa, Calvin lebih memilih sendiri. Menikmati sepi. Menjadikan kesepian sebagai pilihan.

Apa alasan Calvin memilih lagu itu? Cinta. Ia teringat gadis blasteran Sunda-Jawa-Belanda yang telah lama bersahabat dengannya itu.

"Julia...meski aku tidak sesempurna Albert, tapi rasaku sempurna untukmu. Jangan banding-bandingkan aku dengan Albert."

**        

https://www.youtube.com/watch?v=asGl8ON_Ons

**      

Paris van Java, 10 Oktober 2017

Tulisan yang muncul dari keresahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun